Saya akhirnya kembali ke Indonesia. Bagaimana dengan persiapan nikahnya?
Well.. kalau mau jujur, setelah lamaran September 2016 lalu, tidak banyak progress yang berarti selama saya dan Rizky masih di Jepang. Karena saya sedang sibuk tesis, saya tadinya mau 'menitipkan' persiapan saya ke Mama. Beliau sudah ahli soal event organizing, jadi kami memutuskan untuk tidak menyewa jasa wedding planner. Namun, ternyata memang beda ya mempersiapkan acara sendiri dengan mempersiapkan acara orang lain.
Mama saya yang sudah bolak balik mengurus acara kantor, juga pernah mengurus pernikahan anak-anak bosnya, tiba-tiba jadi blank. Di satu sisi, saya juga tidak menuntut Mama ini-itu karena sejatinya saya tidak mau pilihan-pilihan vendor akhirnya diputuskan mengikuti preferensi Mama tanpa saya merasakan 'koneksi' langsung dengan para vendor. Jadi, dengan keterbatasan ini, satu-satunya progress saya setelah lamaran sampai Maret 2017 adalah booking gedung untuk menikah.
Pertimbangan menentukan gedung menikah jauh-jauh hari juga karena persaingan tanggal pernikahan di Jakarta sangat ketat, konon minimal satu tahun sebelumnya harus booking gedung. Apalagi bulan yang kami inginkan - September - ternyata adalah bulan favorit untuk menikah. Salah satunya kemungkinan karena jatuh pada bulan Dzulhijjah yang katanya untuk sebagian orang dianggap sebagai 'waktu yang baik untuk menikah'. Sementara saya dan Rizky memilih bulan tersebut atas dasar kecocokan waktu dengan jadwal Rizky dan karena memang dari dulu saya ingin menikah di bulan ulang tahun, hehe.
Setelah saya pulang ke Indonesia April ini, tantangan mengurus pernikahan pun dimulai. Tidak hanya karena tinggal 5 bulan tersisa, namun juga karena saya mempersiapkan ini - secara fisik - sendirian. Rizky masih kuliah di Jepang sampai Agustus nanti, ketika doi pulang untuk internship dan menikah. Tentu saja Mama selalu siap mendampingi, namun tidak bisa dibohongi bahwa ketidakhadiran Rizky memberikan tantangan lebih, seperti:
1. Urusan komunikasi
Karena pernikahan adalah menyatukan dua keluarga, meskipun satu pihak mungkin ambil andil lebih banyak dalam persiapannya, namun keluarga lainnya tentu harus dilibatkan. Bagi saya, saya anggap ini momen saya untuk mendekatkan diri sama keluarga Rizky dengan update dan menghubungi mereka secara berkala. Namun, kadang ada hal-hal yang butuh Rizky sebagai orang yang 'menjembatani', dan ada hal-hal yang enaknya dibicarakan langsung bukan lewat video call. Ini berarti saya harus bisa menyampaikan segala sesuatu dengan baik kepada Rizky (nggak pakai baper dan emosi), untuk Rizky teruskan ke keluarganya. Kalau calon suami mengalami semua persiapan langsung, bareng ribet berdua, mungkin akan berbeda ya rasanya. Jadi persiapan ini jadi semacam ujian komunikasi saya dan Rizky.
2. Urusan administratif dan teknis
Baca di blog orang, di KUA nanti ada dokumen yang perlu ditandatangani kedua calon mempelai. Kemudian soal fitting baju, Rizky baru bisa mencoba baju nikahnya satu bulan sebelum acara.
3. Urusan hati
Kadang sedih juga sih mengurus tanpa Rizky di sini. Di satu sisi, saya juga nggak enak mengganggu riset dia yang lagi puncak-puncaknya. Saya nggak ada di sana menemani dia, malah bikin tambah pusing mikirin nikahan #baper #pulangkanakukekyoto
Sebenarnya saya bukan orang yang suka sharing kehidupan percintaan sering-sering di blog. Takut begini takut begitu. Tapi melihat minimnya informasi soal persiapan pernikahan pasangan yang LDR, saya memutuskan kalau ada tantangan tertentu yang berkaitan dengan urusan LDR ini selama persiapan pernikahan, saya akan menuliskannya di blog. Kemudian mungkin suatu hari saya juga berbagi pricelist-pricelist vendor-vendor yang saya kumpulkan karena saya orangnya organized dan suka berbagi hahaha. Btw, kalau ada yang pernah mengurus pernikahan dengan kondisi LDR dengan pasangan, saya siap mendengar petuahnya. Saya baru mulai. Semoga ke depan nanti semuanya baik-baik saja. Bismillah :)
Love,