Memilih Banda sebagai film bioskop yang saya tonton pertama bersama Rizky sebenarnya adalah pilihan random untuk mengisi waktu luang. Kalau ke bioskop, Rizky lebih suka menonton film Indonesia ketimbang film luar, karena film Indonesia jarang bisa ditemukan versi bajakannya di internet. Karena saya jarang menonton film dokumenter Indonesia, ketika saya menonton satu, rasanya begitu berbeda dari film-film kebanyakan dan membuat saya ingin menulis sesuatu tentangnya.
Banda adalah sebuah film dokumenter yang menyoroti Kepulauan Banda yang terletak di Provinsi Maluku, sebuah provinsi di wilayah Indonesia Timur. Disutradarai oleh Jay Subyakto dan diiringi narasi oleh Reza Rahadian dan Ario Bayu, film ini menceritakan beberapa poin: sejarah Banda, pala sebagai rempah-rempah unggulan Banda, serta kehidupan masyarakat Banda.
Banyak hal yang saya baru tahu setelah menonton film Banda. Salah satunya yang paling awal saya 'ngeh' adalah fakta bahwa Banda Neira, nama band indie yang saya dan Rizky suka, adalah nama sebuah pulau di Kepulauan Belanda. Bukan sekedar pulau, tapi pulau yang menyimpan sejarah kelam pada masa penjajahan Belanda. Di Banda Neira inilah terjadi kejahatan genosida pertama di Indonesia. Masyarakat Kepulauan Banda yang semula berjumlah 15,000 orang dibantai, dijual, dan dipindahkan dari Kepulauan Banda sampai hanya tersisa sekitar 1,000 orang saja.
Saya juga baru tahu bahwa pala, rempah-rempah yang biasa digunakan mbak saya untuk memasak, ternyata memiliki buah yang cantik - bentuknya mirip jantung. Pala ternyata juga memilki permasalahan yang sama seperti beberapa komoditi di Indonesia: masalah post-treatment setelah panen. Menurut salah satu pemilik kebun pala, perlakuan terhadap pala di masa kini tidak sama seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang jaman dahulu. Biasanya, dilakukan pengasapan setelah panen. Namun sekarang petani pala hanya menjemur di bawah matahari setelah panen, sehingga kualitas pala pun menurun. Sayangnya, walau petani melakukan pengasapan, tidak ada harga pasar yang berbeda dengan petani yang melakukan penjemuran. Pantas saja, akhirnya para petani memilih melakukan penjemuran yang lebih praktis dan murah.
Terakhir, film ini menyoroti Banda sebagai sebuah Kepulauan multi etnis dan multi kultural yang disebut Bung Hatta sebagai 'mini Indonesia'. Hal ini ternyata karena setelah pembantaian masal penduduk asli Banda, banyak orang-orang dari berbagai penjuru Indonesia yang dibuang ke Banda, termasuk di antaranya Bung Hatta dan Sutan Syahrir. Karenanya, sangat sulit menemukan penduduk asli Banda karena sudah melebur dengan berbagai suku budaya. Walau demikian, tidak menjamin kehidupan penduduk Banda tenang-tenang saja. Konflik keagamaan yang pernah terjadi di Maluku ternyata sampai ke Banda. Salah satu narasumber film ini menceritakan bagaimana dia diburu pada masa konflik tersebut. Seluruh keluarganya dibantai, hanya dia yang selamat. Saya tidak habis pikir bagaimana manusia bisa saling bunuh hanya karena perbedaan.
Sedikit menyimpang dari fokus Banda - melalui film ini saya juga terinspirasi oleh Bung Hatta. Dalam pengasingannya, beliau begitu produktif: mendidik anak-anak lokal di sekolah, menjadi pelatih tim sepak bola untuk anak lokal, bahkan menulis sebuah buku untuk calon istrinya yang kemudian dijadikan mas kawin pernikahannya! Sangat menginspirasi bahwa produktivitas seseorang seharusnya tidak terbatas oleh tempat dan waktu selama kita memiliki semangat dan keinginan untuk melakukan sesuatu.
Walau berupa film dokumenter, cara pengambilan gambar dan penyajian film Banda The Dark Forgotten Trail menurut saya cukup unik sehingga mengurangi potensi penonton bosan. Bagi saya sendiri, menonton film ini terasa menarik karena rasanya seperti jalan-jalan bersama Jakarta Good Guide: mengenal tempat-tempat dan mengenal sejarahnya, belajar hal-hal baru. Semoga kedepannya makin banyak film-film serupa yang masuk bioskop dan memperkaya pengetahuan anak bangsa tentang Indonesia!
17 Agustus 2017.
(Warga negara yang terlihat nggak betah tapi sebenarnya sayang sama Indonesia)