Apa yang terpikir ketika mendengar kelapa sawit? Deforestasi, kebakaran hutan, dan kerusakan lingkungan adalah hal-hal yang terpikir oleh saya. Tapi, itu sebelum saya mengenal lebih jauh dan bertemu langsung dengan kelapa sawit.
Saya pertama kali mendengar isu kelapa sawit di surat kabar digital langganan dari sebuah organisasi lingkungan non-profit. Surat kabar ini menceritakan bagaimana sebuah perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia membuka hutan untuk menanam kelapa sawit yang akan digunakan sebagai salah satu bahan baku produk mereka. Alhasil, terjadilah deforestasi hutan dan hilanglah sebagian besar habitat salah satu satwa yang dilindungi: orang utan.
Cerita tentang kelapa sawit berikutnya datang dari teman saya yang melakukan riset tentang kelapa sawit di Indonesia. Saat itu adalah tahun 2015, tahun di mana asap akibat pembakaran lahan di Sumatra dan di Kalimantan dan hubungannya dengan penanaman kelapa sawit menjadi pembahasan yang cukup alot - karena asap ini juga berdampak cukup parah ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore. Teman saya berkesempatan untuk datang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah dan menyaksikan langsung seperti apa dampaknya. It was really bad. Langit siang Palangkaraya berubah menjadi kuning. Keluar dari rumah tanpa masker dan kacamata yang melindungi sepertinya mustahil. Bahkan saya yang hanya menyaksikan dari foto yang dikirim ikut sedih melihatnya. Apakah manusia se-serakah ini sampai harus membakar lahan dan menyiksa sesama manusia untuk menghidupi manusia lainnya? Begitu pikir saya saat itu.
Walau merasa sebagai 'environmentalist' (yang ternyata masih banyak cluelessnya daripada pahamnya), saya berusaha untuk tidak 100% melihat isu kelapa sawit ini sebagai hitam dan putih. Karena itu, ketika suami saya yang penelitiannya tentang sustainability of palm oil mengajak saya untuk mengunjungi lokasi penelitiannya di Parindu, Kalimantan Barat, saya menyambut dengan baik. Kapan lagi punya kesempatan untuk menilai langsung industri ini? Jadi, inilah cerita saya mengunjungi kelapa sawit dan para pengelolanya dalam satu hari.
Bertatap muka dengan kelapa sawit
Parindu berjarak sekitar dua jam perjalanan dari Pontianak. Sepanjang perjalanan dari Pontianak ke Parindu, pohon kelapa sawit berdiri di kanan dan kiri jalan, kadang menjadi bagian dari halaman rumah warga setempat. Setibanya saya di Parindu, ternyata wilayah ini berbeda dengan bayangan saya. Saya membayangkan sebuah kota kecil - lebih tepat disebut desa - seperti wilayah Muara Badak, Kalimantan Timur, tempat saya kerja lapangan 2012 lalu. Ternyata, Parindu lebih seperti jalur lintas wilayah dengan beberapa rumah di kanan dan kiri jalan. Untungnya, masih ada pasar, minimarket, serta hotel dan restauran yang 'puguh'.
Kami tiba di kantor perusahaan pengelola kelapa sawit pada pagi hari dan langsung disambut oleh Pak A yang sudah mengayomi Rizky sejak penelitian S2 nya beberapa tahun lalu. Kami kemudian menanyakan apakah memungkinkan bagi kami untuk masuk ke kebun dengan menggunakan motor yang kami gunakan dari hotel ke kantor. Ternyata, kondisi jalanan di kebun sedang sangat buruk akibat hujan sehingga kami perlu menyewa kendaraan lain untuk masuk ke perkebunan. Kendaraan yang tersedia saat itu hanyalah sebuah truk pick-up: yang berarti kami harus duduk di bak terbuka. No worries, kami tetap berangkat!
Memasuki perkebunan kelapa sawit, jalanan berubah menjadi jalan tanah. Dengan luas sekitar 10 hektar, perkebunan kelapa sawit di wilayah penelitian Rizky ini bukan hanya milik perusahaan pengelola, namun sebagian ada yang merupakan milik pribadi warga setempat. Rizky menunjukkan mana kelapa sawit yang masih muda, mana yang sudah tua - cara simpel untuk membedakannya yaitu dari tinggi pohonnya. Kelapa sawit ternyata bisa mencapai tinggi 6-9 meter setelah mencapai usia tertentu - jadi bayangan lahan gersang dengan pohon-pohon pendek itu tidaklah benar adanya.
Rizky juga menjelaskan bahwa usia produktif kelapa sawit biasanya maksimal hingga usia 25 tahun. Setelah usia 25 tahun, apa yang terjadi dengan kelapa sawit? Mereka disuntik mati. Alasannya karena mereka tidak lagi memberikan buah dengan kualitas bagus. Kami juga melewati perkebunan dengan kelapa sawit yang sudah disuntik. Pelepah-pelepahnya sudah tidak ada, it's about time sampai mereka luruh dan mati bergabung dengan tanah :( Biasanya sebelum pohon kelapa sawit benar-benar mati, petani sudah menyiapkan pohon penggantinya di sekitar pohon yang mati. Walau sudah umum digunakan, berdasarkan diskusi Rizky dengan Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat, metode suntik mati ini sekarang sudah dilarang oleh pemerintah karena dianggap mengganggu kesehatan tanah. Sudah ada alternatif pengelolaan limbah kelapa sawit jika mereka tidak bisa disuntik mati, dan saat ini sedang berusaha diterapkan.
Kondisi jalan di dalam perkebunan sawit |
Buah kelapa sawit |
Mengenal suku asli Parindu: Dayak Taba
Tujuan kami memasuki perkebunan hari itu sebenarnya tidak hanya jalan-jalan tapi juga untuk menemui pimpinan desa tempat Rizky melakukan penelitian. Tidak hanya tentang perusahaan dan perkebunannya saja, Rizky juga meneliti aspek sosial masyarakat di sekitar perkebunan sehingga perlu berinteraksi dengan suku asli setempat.
Setelah perjalanan penuh perjuangan di jalan tanah selama dua jam lebih, kami tiba di desa dan singgah di rumah mantan kepala desa yang juga sudah menjadi langganannya Rizky sejak penelitian S2. Rumah-rumah di desa ini berupa kombinasi kayu, batu bata, dan semen dengan nuansa abu-abu tanpa polesan cat. Tidak ada listrik, hanya beberapa rumah memiliki mesin diesel untuk menghidupkan lampu. Anjing-anjing kecil yang dipelihara masyarakat setempat bebas keluar masuk rumah. Siang itu, desa sepi karena sebagian besar penduduknya sedang berkebun atau berladang - hanya tampak beberapa wanita yang baru pulang dari kegiatan bercocok tanam.
Kesempatan kali itu dimanfaatkan Rizky untuk mewawancara Pak C, mantan kepala desa, tentang hubungan beliau dengan kelapa sawit. Salah satu poin yang saya ingat yaitu kelapa sawit ternyata telah memberikan kehidupan baru bagi desa ini. Contohnya, Pak C berhasil menyekolahkan anaknya sampai level universitas - sebuah pencapaian dari seseorang yang bahkan tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Selain kelapa sawit, penduduk desa ini juga berladang untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari dan sebagian dari mereka masih menanam pohon karet (pemasukan utama sebelum ada kelapa sawit). Walau telah mengenal kelapa sawit, masyarakat desa ternyata tetap menjaga sebuah wilayah untuk tetap hijau - wilayah yang dikenal sebagai hutan adat. Hutan ini adalah tempat tinggal lama nenek moyang mereka yang masih dijaga. Hanya warga desa setempat yang boleh memasuki hutan ini, dan manfaat dari hutan ini hanya boleh diambil secukupnya untuk kepentingan bersama.
Selain tentang kelapa sawit, saya juga dijelaskan oleh Rizky tentang budaya dan aturan adat di desa tersebut. Sebagai orang awam yang jarang banget ke remote area, sejujurnya saya sempat was-was juga. Salah satu aturan yang bikin deg-degan adalah kalau di atas jam 5 sore, laki-laki tidak boleh berbicara dengan penduduk wanita lokal - begitu juga sebaliknya. Jika ditemukan oleh penduduk lainnya kita berbicara dengan lawan jenis, maka ada kemungkinan kita akan langsung disuruh menikah! Haha, seru-seru khawatir yaa mengunjungi desa ini.
Menengok Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit di Level Pabrik
Setelah seharian jalan-jalan di perkebunan, sebelum mengakhiri hari, kami diajak ke pabrik untuk mampir melihat sekilas pengelolaan kelapa sawit di level pabrik. Salah satu hal baru yang saya pelajari adalah buah kelapa sawit harus masuk ke pabrik dalam waktu 1x24 jam setelah panen jika tidak ingin kualitasnya menurun. Biasanya setelah panen, kelapa sawit diangkut oleh truk - baik milik perusahaan, koperasi, maupun pribadi - langsung dari kebun petani ke pabrik.
Di pabrik, kelapa sawit diekstrak untuk didapatkan minyaknya. Saya khususnya memperhatikan bagian bagaimana mereka mengelola limbah sisa produksi (lebih khusus lagi limbah padat). Kebetulan tahun lalu saya merangkum proses pengelolaan limbah dari perusahaan kelapa sawit swasta yang dari pemaparannya terlihat sudah sangat well managed di mana hampir semua aspek limbah sudah dimanfaatkan. So I thought, there should be no worries with waste from palm oil industry. Ternyata tidak demikian, saudara-saudara!
Di perusahaan tempat Rizky meneliti ini, saya melihat tumpukan tandan kosong di mana-mana. Di pinggir jalan di dalam perkebunan, di dekat kantor perusahaan, dan lebih banyak lagi di sekitar pabrik - bisa dibilang levelnya gunungan. Berdasarkan hasil saya membaca laporan pengelolaan limbah perusahaan swasta sebelumnya, tandan kosong ini dapat diolah dengan boiler untuk menghasilkan listrik dan panas yang dapat digunakan untuk menjalankan pabrik. Disebutkan juga di riset ini bahwa ada beberapa alternatif pengelolaan tandan kosong seperti untuk produksi briket bahan bakar, produksi etanol, produksi fiberboard, pengomposan, dan lain-lain. Walau telah ada alternatif teknologi, menurut riset tersebut (kasus di Malaysia), baru 30% perusahaan kelapa sawit yang menggunakan teknologi untuk mengelola tandan kosong.
Perusahaan tempat Rizky riset adalah salah satu dari mereka yang belum menggunakan teknologi untuk pengelolaan tandan kosongnya. Walau demikian, tidak berarti mereka menelantarkan tandan kosong 100%. Penggunaan tandan kosong yang mereka lakukan sebenarnya sudah cukup umum digunakan di industri sawit: tandan kosong akan diberikan kembali ke warga untuk diletakkan di sekitar pohon kelapa sawit sebagai bahan untuk mulching dan soil conditioning seiring terdekomposisinya tandan kosong tersebut. Bisa dibilang, mirip pengomposan tapi tanpa pengelolaan teknis. Kebetulan saat saya berkunjung, tandan kosong sedang menumpuk karena sulitnya transportasi ke rumah-rumah penduduk berhubung infrastruktur jalan berada dalam kondisi buruk akibat musim hujan. Kalau melihat dari riset ini, permasalahan transportasi tandan kosong yang umum dialami industri sawit ini salah satu solusinya yaitu dengan menerapkan pengomposan di mana volume tandan kosong dapat direduksi hingga 50-75%. Selain itu, riset tersebut juga menyebutkan bahwa dari semua teknologi yang ada, pengomposan dikatakan sebagai pilihan teknologi yang paling ramah lingkungan terutama dari segi reduksi gas rumah kaca.
Beyond Kelapa Sawit
Setelah kunjungan kami ke kebun kelapa sawit, saya diskusi dengan Rizky tentang kenyataan yang saya lihat di lapangan. Saya juga membaca beberapa literatur untuk memahami lebih jauh tentang hasil diskusi saya dengan Rizky. Dari proses pembelajaran saya secukupnya ini, saya merangkum beberapa poin. Berikut beberapa rangkuman hal-hal yang saya pelajari tentang kelapa sawit.
Pertama, benar adanya bahwa kelapa sawit membantu mereka yang terbelakang menjadi lebih maju. Hal ini khususnya terjadi di desa yang saya kunjungi. Menurut Rizky, kemajuan ini bukanlah sesuatu yang dipaksakan namun sesuatu yang terjadi secara natural setelah masyarakat lokal memiliki akses informasi yang lebih terbuka. Sejauh ini, walau sudah kenal sawit, masyarakat lokal juga masih menjaga roots mereka - bisa dilihat dari budaya berladang dan budaya hutan adat yang masih eksis. Walau demikian, dari cerita-cerita yang saya dengar di lapangan juga dari membaca penelitian tentang smallholders di Indonesia ini, saya melihat bahwa konflik sosial terkait sawit (antara petani, perusahaan, koperasi, dkk) sebenarnya juga cukup rumit. Mirip-mirip sama konflik dunia persampahan yang saya geluti. Menurut pemikiran sederhana saya, selama konflik-konflik ini bisa diminimalisir dan manajerial sawitnya baik, sesungguhnya kelapa sawit bisa memberikan kesejahteraan untuk masyarakat lokal. Seperti yang Rizky bilang, "The smallholders and indigeneous people need to keep up with the development too".
Kedua, kebakaran lahan/hutan yang berkaitan dengan kelapa sawit terjadi akibat penyimpangan dari praktik tradisional dan pelanggaran larangan pembakaran lahan gambut. Belajar dari Rizky yang sudah mewawancara masyarakat Dayak, secara tradisional masyarakat Dayak memang mengenal praktik slash and burn untuk bercocoktanam. Praktik ini diperlukan untuk mengembalikan nutrisi tanah, dan dilakukan dengan siklus tertentu. Menurut buku ini, praktik slash and burn yang menyimpang terjadi sejak wilayah Kalimantan didatangi oleh transmigran (sekitar tahun 1978) yang kemudian melakukan slash and burn dengan pola dan ketentuan yang berbeda dari praktik tradisional Dayak. Seiring berjalannya ekspansi kelapa sawit (dan tanaman perkebunan lainnya), praktik menyimpang ini pun terus berlanjut - dan berpotensi menjadi kebakaran yang lebih besar ketika kondisi musim kering (El Nino) atau ketika dilakukan di lahan gambut, seperti kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997.
Ketiga, tuduhan kelapa sawit menjadi salah satu penyebab utama deforestasi itu benar adanya. Namun ada beberapa fakta tentang deforestasi yang perlu diketahui.
Fakta pertama yaitu penurunan jumlah hutan di Kalimantan sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1967 ketika seluruh hutan di Indonesia dinyatakan sebagai hutan milik negara. Silahkan baca di sini untuk memahami kondisi politik zaman orde baru yang berkaitan dengan penggunaan hutan.
Fakta kedua yaitu hutan lindung di dataran rendah di Kalimantan mengalami penurunan sebesar 56% sejak tahun 1985 sampai 2001. Sementara, lebih dari 50% kelapa sawit yang ada ditanam pada tahun 2000-2010. Penurunan kondisi hutan yang terjadi di hutan lindung di Kalimantan pertama disebabkan oleh intensive logging dari perusahaan kayu. Setelah kegiatan menebang kayu berkurang akibat sumber daya yang sudah tidak ada, barulah dilakukan clear cutting sisa dari wilayah operasional perusahaan kayu ini untuk operasional kelapa sawit (yang ternyata, di encourage oleh pemerintah). Silahkan baca di sini untuk lebih memahami kondisi deforestasi di wilayah konservasi di Kalimantan.
Fakta ketiga yaitu di luar wilayah hutan lindung, kelapa sawit diestimasi bertanggungjawab untuk sekitar 57% deforestasi yang terjadi di Kalimantan pada tahun 2000-2010. Silahkan cek risetnya di sini. Di tahun 2012, sekitar 32% dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan berada di luar wilayah hutan lindung. Dengan kondisi ini, perusahaan kelapa sawit tidak diwajibkan melaporkan seberapa banyak hutan yang hilang maupun seberapa banyak emisi yang dihasilkan. Sebagai catatan, hutan yang ada di Indonesia memang tidak semuanya berstatus hutan lindung. Berdasarkan data KLHK 2012, 45% hutan di Indonesia digunakan sebagai hutan produksi dan sekitar 27% lainnya dijadikan wilayah konservasi untuk suaka alam dan hutan lindung.
Keempat, industri sawit bergerak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dunia. Rizky menjelaskan bahwa semakin banyak populasi manusia, semakin banyak permintaan minyak sawit. Di tahun 2006, Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang berusaha memenuhi kebutuhan global akan minyak sawit: 80.5% produksi global minyak sawit dan 50.6% perkebunan sawit berasal dari dua negara ini. As much as I want to say that palm oil expansion is only a prove of man's greediness, saya sadar kalau kelapa sawit ada di setiap aspek kehidupan kita: mulai dari minyak goreng, sabun mandi, margarin, cokelat, sampo - it's practically in everything! Jadi, saya merasa hipokrit kalau berani bicara bahwa kelapa sawit 100% merusak dan tidak baik bagi lingkungan, sementara saya (secara sadar ataupun tidak) masih membutuhkan produk dari sawit untuk kehidupan sehari-hari. Untuk mengecek negara mana saja yang menggunakan produk kelapa sawit dan persentase pemakaiannya, silahkan cek diagram dari United States Department of Agriculture di majalah WWF berikut.
Kesempatan kali itu dimanfaatkan Rizky untuk mewawancara Pak C, mantan kepala desa, tentang hubungan beliau dengan kelapa sawit. Salah satu poin yang saya ingat yaitu kelapa sawit ternyata telah memberikan kehidupan baru bagi desa ini. Contohnya, Pak C berhasil menyekolahkan anaknya sampai level universitas - sebuah pencapaian dari seseorang yang bahkan tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Selain kelapa sawit, penduduk desa ini juga berladang untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari dan sebagian dari mereka masih menanam pohon karet (pemasukan utama sebelum ada kelapa sawit). Walau telah mengenal kelapa sawit, masyarakat desa ternyata tetap menjaga sebuah wilayah untuk tetap hijau - wilayah yang dikenal sebagai hutan adat. Hutan ini adalah tempat tinggal lama nenek moyang mereka yang masih dijaga. Hanya warga desa setempat yang boleh memasuki hutan ini, dan manfaat dari hutan ini hanya boleh diambil secukupnya untuk kepentingan bersama.
Selain tentang kelapa sawit, saya juga dijelaskan oleh Rizky tentang budaya dan aturan adat di desa tersebut. Sebagai orang awam yang jarang banget ke remote area, sejujurnya saya sempat was-was juga. Salah satu aturan yang bikin deg-degan adalah kalau di atas jam 5 sore, laki-laki tidak boleh berbicara dengan penduduk wanita lokal - begitu juga sebaliknya. Jika ditemukan oleh penduduk lainnya kita berbicara dengan lawan jenis, maka ada kemungkinan kita akan langsung disuruh menikah! Haha, seru-seru khawatir yaa mengunjungi desa ini.
Wilayah hutan adat berdampingan dengan sawah |
Setelah seharian jalan-jalan di perkebunan, sebelum mengakhiri hari, kami diajak ke pabrik untuk mampir melihat sekilas pengelolaan kelapa sawit di level pabrik. Salah satu hal baru yang saya pelajari adalah buah kelapa sawit harus masuk ke pabrik dalam waktu 1x24 jam setelah panen jika tidak ingin kualitasnya menurun. Biasanya setelah panen, kelapa sawit diangkut oleh truk - baik milik perusahaan, koperasi, maupun pribadi - langsung dari kebun petani ke pabrik.
Di pabrik, kelapa sawit diekstrak untuk didapatkan minyaknya. Saya khususnya memperhatikan bagian bagaimana mereka mengelola limbah sisa produksi (lebih khusus lagi limbah padat). Kebetulan tahun lalu saya merangkum proses pengelolaan limbah dari perusahaan kelapa sawit swasta yang dari pemaparannya terlihat sudah sangat well managed di mana hampir semua aspek limbah sudah dimanfaatkan. So I thought, there should be no worries with waste from palm oil industry. Ternyata tidak demikian, saudara-saudara!
Di perusahaan tempat Rizky meneliti ini, saya melihat tumpukan tandan kosong di mana-mana. Di pinggir jalan di dalam perkebunan, di dekat kantor perusahaan, dan lebih banyak lagi di sekitar pabrik - bisa dibilang levelnya gunungan. Berdasarkan hasil saya membaca laporan pengelolaan limbah perusahaan swasta sebelumnya, tandan kosong ini dapat diolah dengan boiler untuk menghasilkan listrik dan panas yang dapat digunakan untuk menjalankan pabrik. Disebutkan juga di riset ini bahwa ada beberapa alternatif pengelolaan tandan kosong seperti untuk produksi briket bahan bakar, produksi etanol, produksi fiberboard, pengomposan, dan lain-lain. Walau telah ada alternatif teknologi, menurut riset tersebut (kasus di Malaysia), baru 30% perusahaan kelapa sawit yang menggunakan teknologi untuk mengelola tandan kosong.
Perusahaan tempat Rizky riset adalah salah satu dari mereka yang belum menggunakan teknologi untuk pengelolaan tandan kosongnya. Walau demikian, tidak berarti mereka menelantarkan tandan kosong 100%. Penggunaan tandan kosong yang mereka lakukan sebenarnya sudah cukup umum digunakan di industri sawit: tandan kosong akan diberikan kembali ke warga untuk diletakkan di sekitar pohon kelapa sawit sebagai bahan untuk mulching dan soil conditioning seiring terdekomposisinya tandan kosong tersebut. Bisa dibilang, mirip pengomposan tapi tanpa pengelolaan teknis. Kebetulan saat saya berkunjung, tandan kosong sedang menumpuk karena sulitnya transportasi ke rumah-rumah penduduk berhubung infrastruktur jalan berada dalam kondisi buruk akibat musim hujan. Kalau melihat dari riset ini, permasalahan transportasi tandan kosong yang umum dialami industri sawit ini salah satu solusinya yaitu dengan menerapkan pengomposan di mana volume tandan kosong dapat direduksi hingga 50-75%. Selain itu, riset tersebut juga menyebutkan bahwa dari semua teknologi yang ada, pengomposan dikatakan sebagai pilihan teknologi yang paling ramah lingkungan terutama dari segi reduksi gas rumah kaca.
Sebagian dari tumpukan tandan kosong |
Setelah kunjungan kami ke kebun kelapa sawit, saya diskusi dengan Rizky tentang kenyataan yang saya lihat di lapangan. Saya juga membaca beberapa literatur untuk memahami lebih jauh tentang hasil diskusi saya dengan Rizky. Dari proses pembelajaran saya secukupnya ini, saya merangkum beberapa poin. Berikut beberapa rangkuman hal-hal yang saya pelajari tentang kelapa sawit.
Pertama, benar adanya bahwa kelapa sawit membantu mereka yang terbelakang menjadi lebih maju. Hal ini khususnya terjadi di desa yang saya kunjungi. Menurut Rizky, kemajuan ini bukanlah sesuatu yang dipaksakan namun sesuatu yang terjadi secara natural setelah masyarakat lokal memiliki akses informasi yang lebih terbuka. Sejauh ini, walau sudah kenal sawit, masyarakat lokal juga masih menjaga roots mereka - bisa dilihat dari budaya berladang dan budaya hutan adat yang masih eksis. Walau demikian, dari cerita-cerita yang saya dengar di lapangan juga dari membaca penelitian tentang smallholders di Indonesia ini, saya melihat bahwa konflik sosial terkait sawit (antara petani, perusahaan, koperasi, dkk) sebenarnya juga cukup rumit. Mirip-mirip sama konflik dunia persampahan yang saya geluti. Menurut pemikiran sederhana saya, selama konflik-konflik ini bisa diminimalisir dan manajerial sawitnya baik, sesungguhnya kelapa sawit bisa memberikan kesejahteraan untuk masyarakat lokal. Seperti yang Rizky bilang, "The smallholders and indigeneous people need to keep up with the development too".
Kedua, kebakaran lahan/hutan yang berkaitan dengan kelapa sawit terjadi akibat penyimpangan dari praktik tradisional dan pelanggaran larangan pembakaran lahan gambut. Belajar dari Rizky yang sudah mewawancara masyarakat Dayak, secara tradisional masyarakat Dayak memang mengenal praktik slash and burn untuk bercocoktanam. Praktik ini diperlukan untuk mengembalikan nutrisi tanah, dan dilakukan dengan siklus tertentu. Menurut buku ini, praktik slash and burn yang menyimpang terjadi sejak wilayah Kalimantan didatangi oleh transmigran (sekitar tahun 1978) yang kemudian melakukan slash and burn dengan pola dan ketentuan yang berbeda dari praktik tradisional Dayak. Seiring berjalannya ekspansi kelapa sawit (dan tanaman perkebunan lainnya), praktik menyimpang ini pun terus berlanjut - dan berpotensi menjadi kebakaran yang lebih besar ketika kondisi musim kering (El Nino) atau ketika dilakukan di lahan gambut, seperti kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997.
Ketiga, tuduhan kelapa sawit menjadi salah satu penyebab utama deforestasi itu benar adanya. Namun ada beberapa fakta tentang deforestasi yang perlu diketahui.
Fakta pertama yaitu penurunan jumlah hutan di Kalimantan sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1967 ketika seluruh hutan di Indonesia dinyatakan sebagai hutan milik negara. Silahkan baca di sini untuk memahami kondisi politik zaman orde baru yang berkaitan dengan penggunaan hutan.
Fakta kedua yaitu hutan lindung di dataran rendah di Kalimantan mengalami penurunan sebesar 56% sejak tahun 1985 sampai 2001. Sementara, lebih dari 50% kelapa sawit yang ada ditanam pada tahun 2000-2010. Penurunan kondisi hutan yang terjadi di hutan lindung di Kalimantan pertama disebabkan oleh intensive logging dari perusahaan kayu. Setelah kegiatan menebang kayu berkurang akibat sumber daya yang sudah tidak ada, barulah dilakukan clear cutting sisa dari wilayah operasional perusahaan kayu ini untuk operasional kelapa sawit (yang ternyata, di encourage oleh pemerintah). Silahkan baca di sini untuk lebih memahami kondisi deforestasi di wilayah konservasi di Kalimantan.
Fakta ketiga yaitu di luar wilayah hutan lindung, kelapa sawit diestimasi bertanggungjawab untuk sekitar 57% deforestasi yang terjadi di Kalimantan pada tahun 2000-2010. Silahkan cek risetnya di sini. Di tahun 2012, sekitar 32% dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan berada di luar wilayah hutan lindung. Dengan kondisi ini, perusahaan kelapa sawit tidak diwajibkan melaporkan seberapa banyak hutan yang hilang maupun seberapa banyak emisi yang dihasilkan. Sebagai catatan, hutan yang ada di Indonesia memang tidak semuanya berstatus hutan lindung. Berdasarkan data KLHK 2012, 45% hutan di Indonesia digunakan sebagai hutan produksi dan sekitar 27% lainnya dijadikan wilayah konservasi untuk suaka alam dan hutan lindung.
Keempat, industri sawit bergerak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dunia. Rizky menjelaskan bahwa semakin banyak populasi manusia, semakin banyak permintaan minyak sawit. Di tahun 2006, Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang berusaha memenuhi kebutuhan global akan minyak sawit: 80.5% produksi global minyak sawit dan 50.6% perkebunan sawit berasal dari dua negara ini. As much as I want to say that palm oil expansion is only a prove of man's greediness, saya sadar kalau kelapa sawit ada di setiap aspek kehidupan kita: mulai dari minyak goreng, sabun mandi, margarin, cokelat, sampo - it's practically in everything! Jadi, saya merasa hipokrit kalau berani bicara bahwa kelapa sawit 100% merusak dan tidak baik bagi lingkungan, sementara saya (secara sadar ataupun tidak) masih membutuhkan produk dari sawit untuk kehidupan sehari-hari. Untuk mengecek negara mana saja yang menggunakan produk kelapa sawit dan persentase pemakaiannya, silahkan cek diagram dari United States Department of Agriculture di majalah WWF berikut.
Kelima, kelapa sawit berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi, baik untuk GDP lokal maupun nasional. Sama seperti isu plastik yang terus diproduksi demi pemasukan negara, kelapa sawit pun demikian. Hanya saja, dari sudut pandang saya, seharusnya dalam kondisi di mana sudah banyak demand untuk sebuah industri menjadi ramah lingkungan, Indonesia bisa lebih baik dalam mengelola industri kelapa sawitnya. Untuk sebuah negara yang berkomitmen mencapai target SDGs, seharusnya kelapa sawit di Indonesia bukan hanya semata-mata untuk tujuan ekonomi tapi juga menjadi wadah untuk menyeimbangkan kondisi lingkungan hidup dan kesejahteraan sosial.
Keenam, sudah ada sertifikasi untuk kelapa sawit agar memenuhi standar ramah lingkungan, namun penerapannya masih mengalami tantangan.
Sertifikasi agar kelapa sawit menggunakan praktik yang berkelanjutan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi sudah dikawal oleh sebuah sertifikasi bernama RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil Standard). Indonesia sendiri punya sertifikasi yang bernama ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil Standard). Walau sudah ada standar ini, ada beberapa tantangan dalam pengaplkikasiannya. Menurut penelitian ini, salah satu tantangan yang dihadapi adalah kurangnya market demand terhadap produk kelapa sawit bersertifikat RSPO. Bisa dibayangkan, perusahaan yang telah mengondisikan praktek perkebunan kelapa sawitnya dengan standar RSPO dan telah menyewa jasa audit sertifikasi kemudian tidak memiliki nilai lebih di pasar karena sedikitnya permintaan pasar untuk produk kelapa sawit yang tersertifikasi.
Ketujuh, kelapa sawit berpotensi menjadi bahan bakar (yang lebih) ramah lingkungan di masa depan, jika dikawal dengan praktik yang sesuai dengan batas-batas tertentu.
School of Chemical Engineerng Universiti Sains Malaysia melakukan studi Life Cycle Assessment terhadap praktik kelapa sawit, khususnya terkait emisi gas rumah kaca. Hasil dari studi ini menunjukkan: 1) Produksi kelapa sawit tidak memberikan kontribusi emisi CO2 yang signifikan karena emisi CO2 dari produksi kelapa sawit lebih sedikit daripada CO2 yang diserap oleh pohon kelapa sawit, 2) Pembakaran 1 liter biodiesel dari kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 38% lebih kecil dari emisi bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Tentunya selain aspek positif dari sisi gas rumah kaca ini, masih banyak aspek lainnya yang perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan ke-ramah-lingkungan-an minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar. Namun, bagi saya secara personal, melihat potensi positif kelapa sawit membuat saya percaya bahwa dengan pengelolaan yang baik, kelapa sawit tidak harus terus menjadi 'penjahat lingkungan'.
Nah, sekarang, apa yang ada di pikiran kalian jika mendengar kelapa sawit?
Salam,
Keenam, sudah ada sertifikasi untuk kelapa sawit agar memenuhi standar ramah lingkungan, namun penerapannya masih mengalami tantangan.
Sertifikasi agar kelapa sawit menggunakan praktik yang berkelanjutan secara lingkungan, sosial, dan ekonomi sudah dikawal oleh sebuah sertifikasi bernama RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil Standard). Indonesia sendiri punya sertifikasi yang bernama ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil Standard). Walau sudah ada standar ini, ada beberapa tantangan dalam pengaplkikasiannya. Menurut penelitian ini, salah satu tantangan yang dihadapi adalah kurangnya market demand terhadap produk kelapa sawit bersertifikat RSPO. Bisa dibayangkan, perusahaan yang telah mengondisikan praktek perkebunan kelapa sawitnya dengan standar RSPO dan telah menyewa jasa audit sertifikasi kemudian tidak memiliki nilai lebih di pasar karena sedikitnya permintaan pasar untuk produk kelapa sawit yang tersertifikasi.
Ketujuh, kelapa sawit berpotensi menjadi bahan bakar (yang lebih) ramah lingkungan di masa depan, jika dikawal dengan praktik yang sesuai dengan batas-batas tertentu.
School of Chemical Engineerng Universiti Sains Malaysia melakukan studi Life Cycle Assessment terhadap praktik kelapa sawit, khususnya terkait emisi gas rumah kaca. Hasil dari studi ini menunjukkan: 1) Produksi kelapa sawit tidak memberikan kontribusi emisi CO2 yang signifikan karena emisi CO2 dari produksi kelapa sawit lebih sedikit daripada CO2 yang diserap oleh pohon kelapa sawit, 2) Pembakaran 1 liter biodiesel dari kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 38% lebih kecil dari emisi bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Tentunya selain aspek positif dari sisi gas rumah kaca ini, masih banyak aspek lainnya yang perlu diteliti lebih lanjut untuk memastikan ke-ramah-lingkungan-an minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar. Namun, bagi saya secara personal, melihat potensi positif kelapa sawit membuat saya percaya bahwa dengan pengelolaan yang baik, kelapa sawit tidak harus terus menjadi 'penjahat lingkungan'.
Nah, sekarang, apa yang ada di pikiran kalian jika mendengar kelapa sawit?
Salam,