Hidup di Indonesia vs Hidup di Jepang #2: Bulan Ramadhan

By Anissa Ratna Putri - Juni 09, 2017

Ini adalah bulan Ramadhan saya di Indonesia setelah dua tahun mengalami bulan Ramadhan di Jepang. Tidak banyak yang berubah dari pola berpuasa di Indonesia - namun saya kini jadi bisa membandingkannya dengan pengalaman saya ketika berpuasa di Jepang. Gimana sih rasanya puasa di negara orang dan apa bedanya sama di Indonesia?

Waktu berpuasa: 14 jam VS 16 jam
Di Indonesia, sahur biasanya dilakukan jam setengah 4 pagi, subuh sekitar jam setengah 5 pagi, dan maghrib jam 6 sore. Di Jepang, saya biasa sahur pukul 2 pagi, subuh jam 3 pagi, dan maghrib jam 7 malam. Kira-kira, di Jepang saya berpuasa lebih lama dua jam dibanding di Indonesia.

Dibanding dengan di Indonesia, jeda waktu antara burbuka dan sahur lebih dekat. Hal ini kadang jadi membuat saya begadang menunggu sahur kalau sedang ada kerjaan. Berbeda dengan di Indonesia di mana selarut-larutnya saya bekerja, biasanya masih punya 2-3 jam untuk tidur sebelum sahur. Selain itu, jeda waktu yang cukup dekat ini juga berpengaruh pada urusan perut. Kadang perut masih kenyang setelah berbuka, eh tiba-tiba sudah waktunya sahur. Karena itu dua tahun saya di sana nggak ada tuh jadi kurus setelah puasa, mungkin karena penumpukan makanan di malam hari (?).
Masjid Kobe, masjid pertama di Jepang. Di Kyoto nggak ada adzan yang mengingatkan waktu mulai dan berakhir puasa.
Toleransi: restauran ditutup gorden/buka sore VS restauran terbuka 
Atas nama toleransi, di Indonesia banyak restauran yang mendadak pasang gorden di bulan puasa. Beberapa restauran dan warung malah tutup di siang hari dan baru buka sekitar jam 4 sore. Ketika saya sedang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, saya merasakan betapa sulitnya mencari makan di daerah yang memang bukan pusat kota, di daerah yang untuk makan biasanya mengandalkan warung-warung kecil. Saya jadi berpikir ulang makna toleransi. Di satu sisi, nggak bisa dipungkiri juga kalau jualan di bulan Ramadhan hampir pasti penjualan menurun di siang hari.

Menjadi minoritas di Jepang, di bulan Ramadhan saya terbiasa melewati restauran-restauran yang terbuka sebagaimana biasa. Kesimpulan: saya baik-baik saja tuh melihat orang makan. Teman-teman saya yang orang Jepang pun biasanya minta maaf (atau meledek, untuk beberapa kasus) kalau mau makan di depan kami yang sedang berpuasa. Tapi setelah itu ya, santai saja. Toh saya sudah niat, nggak mungkin juga saya tiba-tiba menghampiri teman saya minta cobain makanannya dan membatalkan puasa hanya karena menonton dia makan. Entah kenapa, saya merasa arti toleransi lebih mengena ketika saya berpuasa di Jepang. Karena kami yang berpuasa bisa menjalani ibadah kami dengan tenang, sementara yang nggak puasa nggak menderita kesulitan mencari makan.
Pusat jajanan di Osaka, puasa nggak puasa tetap ramai
Jajanan ngabuburit: beli di ibu2 pinggir jalan/homemade VS homemade/beli di convenience store
Waktu ngabuburit menunggu buka puasa adalah momen paling ramai di jalanan kota-kota Indonesia. Bukan hanya karena banyak orang bermacet-macet mengejar buka puasa di rumah/restauran, tapi juga karena banyak ibu-ibu berjualan di pinggir jalan, menjajakan berbagai cemilan khas berbuka: kolak, kolang kaling, kurma, dan lain-lain. Di rumah saya, kami biasa membuat es buah dengan racikan mama yang super segar. 

Di Jepang, nggak ada tuh yang namanya macet ataupun keramaian akibat waktu berbuka. Mau bikin es buah, buahnya mahal bok di supermarket (anak kuliahan penuh perhitungan). Jadi biasanya menu berbuka saya adalah cemilan-cemilan dari convenience store: aneka olahan cokelat dan makanan manis. Beberapa kali saya mencoba juga membuat es buah mama versi simpelnya, terus buahnya dihemat-hemat selama beberapa hari haha. Oh iya, saya juga punya kebiasaan memasang adzan maghrib dari Youtube setiap jam berbuka di Kyoto karena sepi nggak ada suara bedug.
Menu berbuka saya dan Rizky edisi mewah: lengkap dengan kurma dan es buah sebagai ta'jil
Buka bersama: rangkaian seri buka bareng per geng VS seIndonesia atau lintas negara 
Bulan Ramadhan di Indonesia bisa dikatakan semacam bulan reunian berbagai jenis geng yang dimiliki. Hari ini buka sama geng sd, besok sama geng smp, lusa sama geng kuliah, dsb, dsb. Weekend mendadak jadwalnya sudah penuh semua sama janji kesana-kesini. Pulang kantor kadang ada panggilan juga untuk buka bareng. Nggak jarang bulan Ramadhan jadi salah satu bulan paling boros karena banyak momen makan di luar.

Momen buka bersama di Jepang biasanya dilakukan dalam skala akbar. Selain yang kecil-kecil kasual sehari-hari sama teman (berhubung ketemunya sama teman saja nggak ada keluarga), ada acara buka bersama PPI (Perkumpulan Pelajar Indonesia) dan yang paling dinanti: ifthar party KMA (Kyoto Muslim Association) yang menaungi muslim dari berbagai negara yang sedang bedomisili di Kyoto. Buka puasa KMA adalah pesta makanan dari berbagai negara, setiap negara punya standnya sendiri dan menyajikan makanan khas negaranya. Di acara ini setiap muslim yang hadir boleh mengajak satu orang Jepang untuk hadir dan menikmati buka puasa bersama. Tahun pertama saya menikmati makanan saja tanpa menyumbang masakan apa-apa. Alhamdulillah tahun kedua saya bersama Dea Muthi dan Rika berhasil memasak 20 loyang martabak manis! Walau bentuknya sudah agak-agak tidak jelas sesampainya di tempat acara (akibat dibawa naik sepeda) namun tetap ludes juga di akhir acara. Senang!
 Berbagai makanan di ifthar party KMA

Homemade martabak - ready to pack *maaf gak cantik fotonya*

Lebaran: libur panjang VS tidak libur
Di Indonesia libur lebaran biasanya sekitar satu minggu, dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dan untuk mudik. Selama satu minggu tersebut, biasanya pindah-pindah lokasi dari satu rumah ke rumah lain, saling mengunjungi dan saling minta maaf. Pekerjaan, sekolah, dan segala hal duniawi lainnya ditinggalkan untuk sementara, untuk menyucikan diri dan melahirkan diri yang baru.

Kalau di Jepang? Nggak usah ditanya, tentunya nggak ada tuh yang namanya libur, secara orang Jepang tidak merayakan Idul Fitri. Nggak jarang hari lebaran jatuh di hari ujian akhir semester atau hari presentasi tugas akhir mata kuliah. Ritual lebaran yang saya alami selama dua tahun kemarin adalah shalat Ied di Miyako Messe (semacam alun-alun kota) bersama berbagai muslim dari seluruh dunia, kemudian setelah itu menjalani hari seperti biasa. Tahun pertama malah hari saya sangat tidak biasa karena di hari lebaran tersebut ada taifun yang menyerang Kyoto dan menyebabkan Sungai Kamo meluap. Tahun kedua, lebaran saya lebih santai dan lebih terasa Indonesia karena ada undangan makan dari relasi Indonesia. Namun meski hari berjalan sebagaimana biasa, di pagi hari setelah shalat Ied tetap ada salam-salaman silaturahmi yang membuat Idul Fitri di Kyoto lebih terasa.

Suasana Idul Fitri di Kyoto (Foto: Aria Sungsang)
Suasana Idul Fitri - edisi singles
Closing Remarks
Sedih nggak, mengalami bulan Ramadhan dan Idul Fitri di negara orang tanpa keluarga? Pastinya saya ada masanya kangen sama es buah rumah, sama suara adzan dan bedug maghrib, sama ayam opor dan sayur labu siam di hari Idul Fitri. Tapi mengalami bulan Ramadhan dan Idul Fitri di negara orang juga membuka mata saya tentang bentuk lain dari toleransi: bahwa meskipun mayoritas bukan berarti kita harus selalu diutamakan kemudian membuat yang lain kesulitan. Selain itu juga memberikan rasa senasib-sepenanggungan dengan muslim-muslim dari berbagai negara: misalnya dengan Mahzoon dari Iran dan Fatimah-san dari Malaysia, teman lab yang sama-sama berpuasa dan mengalami suka duka jauh dari rumah selama bulan Ramadhan. 

Untuk kalian yang sedang berniat untuk kuliah atau kerja di negara orang khususnya Jepang, jangan takut - insya Allah bulan Ramadhan kalian di sini akan baik-baik saja. Justru ketika berada di negara orang, banyak orang Indonesia dan orang muslim lainnya yang dengan senang hati berbagi suka duka (juga makanan) dengan kalian. Selamat berpuasa!

Love,




  • Share:

You Might Also Like

0 comments