Hidup di Indonesia vs Hidup di Jepang #3: Kuliah

By Anissa Ratna Putri - Juli 29, 2017

Memasuki akhir bulan Juli, adik saya bersiap mengakhiri liburannya dan kembali ke dunia kuliahnya. Berlawanan dengan adik saya, teman-teman saya di Jepang malah baru saja merayakan kebebasan mereka dari hari-hari kuliah dan ujian - menyambut hari-hari libur yang segera datang. Hal ini menyadarkan saya bahwa ada beberapa perbedaan dunia kuliah di Jepang dan di Indonesia yang mungkin berguna untuk dishare, khususnya untuk mereka yang punya mimpi kuliah di Jepang.  Jadi apa saja perbedaannya?

Waktu


1. Waktu awal dan akhir semester
Di Indonesia, kita terbiasa memulai awal Semester Ganjil di bulan Agustus/September dan memulai awal Semester Genap di bulan Januari/Februari. Bagi orang Jepang, semester perkuliahan terdiri dari Spring Semester yang mulai di bulan April dan Fall Semester yang mulai di bulan Oktober. Bagi yang mau daftar kuliah ke Jepang, perhatikan perbedaan waktu ini ya! Jangan sampai kehilangan momen yang tepat untuk mendaftar.

2. Durasi mata kuliah per semester
Di masa saya kuliah di ITB, satu mata kuliah biasanya mengambil jatah minimal satu semester (kadang malah ada mata kuliah yang punya sesi 2 nya). Ketika saya berkuliah di Jepang, saya agak kaget menemukan bahwa ada beberapa mata kuliah yang berakhir di tengah semester, dan ada juga yang baru mulai di tengah semester. Sistem inlah yang membuat saya bisa mengambil 13 kelas di semester pertama kuliah master saya. 

Menurut saya pribadi, durasi mata kuliah yang singkat padat seperti di Jepang memang kurang efektif untuk mata kuliah yang butuh pendalaman seperti engineering basics (nggak kebayang mata kuliah Kalkulus dalam setengah semester, dua semester aja saya nggak pinter-pinter). Tapi, sistem seperti ini oke untuk tahun terakhir kuliah atau untuk graduate school students karena bisa eksplorasi beragam mata kuliah yang dapat mendukung riset mereka.

3. Jam masuk kuliah
Masa-masa TPB saya di ITB adalah masa kuliah berasa SMA karena masuk kuliahnya jam 7 pagi dan pulangnya jam 6 sore (bahkan lebih hardcore dari SMA yang pulang jam 2). Di Jepang, saya menemukan bahwa mereka biasa beraktivitas mulai jam 08:45 pagi. Hal ini berlaku untuk kuliah di kampus saya dan juga beberapa siswa SMP dan SMA yang saya tanya. Sepertinya walaupun terkenal workaholic, setidaknya Japanese bisa memberikan waktu mulai pagi hari yang lebih manusiawi.

Catatan kuliah


Anissa jaman ITB terkenal dengan her legendary notebook: saya punya binder A4, isinya catatan komprehensif perkuliahan yang setiap mata kuliah minimal punya 2 warna - 1 warna untuk body text dan 1 warna untuk highlight. Catatan saya ini kerap dipinjam teman-teman seangkatan menjelang UTS dan UAS. Motivasi saya mencatat: saya anaknya visual, dengan menulis apa yang saya lihat dan saya dengar, saya merasa bisa memahami dengan lebih baik.

Apakah Anissa versi Kyodai tetap mempertahankan kebiasaan ini? Sayangnya tidak.
Meskipun saya ingin mencatat secara komprehensif, tapi dibagikannya slide handout untuk hampir semua mata kuliah membuat saya merasa what's the point of me taking notes anyway? Saya jadinya hanya menggunakan stabilo untuk menghighlight beberapa bagian penting dan menulis poin-poin yang disampaikan sensei di luar apa yang ada di slide (meskipun jarang). 

Sejujurnya saya agak kaget fakultas saya, sebuah fakultas bergerak di bidang edukasi lingkungan, menyediakan handout untuk semua mata kuliahnya. Saya sendiri prefer untuk mencatat tanpa handout. Lebih baik slide nya dibagikan lewat email saja, jadi saya tetap merasa perlu mencatat dan jika ada yang tertinggal bisa disesuaikan dengan slide yang tersedia. Btw, saya jadi merasa saya lebih menikmati masa-masa guru saya menulis di papan tulis daripada ketika mereka bicara apa yang ada di slide. Terasa lebih ada seninya, iya nggak sih?

Sistem kelompok keahlian (KK) / laboratorium
Ketika saya berkuliah di ITB, ada 5 KK di jurusan saya. Lima KK ini mewakili 5 laboratorium yang ada. Sebagai mahasiswa S1, saya baru masuk ke lab ketika melakukan skripsi. Saya dan teman-teman saya baru mengenal bidang mana yang kami dalami dari ke-5 KK yang ada di tahun terakhir kuliah. Namun, meski saya bisa bilang saya adalah anggota KK Lab Buangan Padat dan B3, selama satu tahun saya bergelut di lab tersebut, tidak pernah ada pertemuan reguler yang membuat saya kenal siapa saja anggota KK/lab ini dan penelitian apa yang mereka lakukan. Kami hanya bertemu secara insidental saja ketika sedang berada di lab. 

Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan Jepang. Walau mahasiswa S1 juga baru memilih KK/lab di tahun terakhirnya, namun terdapat pertemuan reguler yang dilakukan setiap lab yang melibatkan semua mahasiswa yang berada di bawah supervisi lab tersebut. Kegiatan ini disebut Lab Seminar atau biasanya kami memanggilnya "Zemi". Zemi adalah kegiatan reguler satu minggu sekali yang berfungsi sebagai wadah bagi mahasiswa untuk melaporkan rancangan dan progress penelitiannya kepada para sensei. Karena semua mahasiswa diwajibkan datang zemi, maka mahasiswa yang sedang tidak mendapat giliran presentasi pun jadi tahu teman satu labnya melakukan penelitian apa karena sesi presentasi ini. Sisi positif zemi adalah keberadaanya menuntut saya untuk  membuat progress penelitian karena tidak ingin mempresentasikan hal yang sama di bulan berikutnya. Sisi negatifnya, zemi lab saya 80% dilakukan dalam bahasa Jepang, and my Japanese is not well enough to understand. Menyikapi fakta ini, kadang saya menjadikan zemi sebagai sesi listening dan belajar vocabulary baru (hanya berlaku kalau saya sedang rajin).

Fasilitas laboratorium
Meja kerja saya di student room laboratorium
Bagi saya versi ITB, laboratorium hanya dikunjungi ketika saya harus melakukan eksperimen. Ada sih, ruangan untuk kumpul mahasiswa di dalam laboratorium, tapi kecil sekali, bisa dibilang ruang itu lebih cocok jadi ruang titip tas selama melakukan eksperimen. Sebaliknya, di Jepang, student room dan experiment room biasanya dua hal yang berbeda. Student room adalah ruang berkumpul yang isinya common area (sofa/meja makan) dan meja kerja untuk setiap anak yang tahun itu menjadi anggota laboratorium. Saya punya meja kerja sendiri di lab, lengkap dengan komputer berbahasa Inggris. Fasilitas ini adalah fasilitas standar minimum yang diberikan di Jepang kepada mahasiswanya. Ketika saya baru datang, komputer berbahasa Inggris belum tersedia, saat itu sensei saya sampai mau meminjamkan laptopnya untuk saya gunakan - yang mana saya tolak karena alhamdulillah masih ada laptop sendiri. Meski tahu saya punya laptop, sensei tetap belikan komputer baru. Bahkan tadinya saya ditanya, mau komputer Mac atau Windows? Luar biasa memang dedikasi lab ini untuk memfasilitasi mahasiswanya.

Ilmu lingkungan
Agak kurang adil membandingkan ilmu lingkungan yang saya peroleh di sebuah Institut Teknologi dan sebuah Universitas. Ilmu lingkungan yang saya dapatkan di ITB hampir semuanya bersifat teknis. Namanya juga kuliah teknik, kan. Kami dididik untuk dapat membangun sesuatu, tapi tidak (terlalu) untuk mengelola sesuatu. Contohnya, saya dapat banyak ilmu untuk merancang sistem air bersih, untuk membangun instalasi pengolahan air limbah, untuk mendesain landfill. 

Di Kyoto University, ilmu yang saya dapatkan kebanyakan bersifat manajerial. Namanya juga kuliah Environmental Management, ya. Saya belajar ekonomi lingkungan, kebijakan lingkungan, juga peran masyarakat dalam program-program lingkungan. Di Kyoto University juga saya banyak belajar otodidak, mencari informasi-informasi lingkungan dari berbagai sumber di internet serta melalui permintaan kunjungan lapangan. Waktu kuliah yang tidak sepadat masa S1 memberikan saya kesempatan ini. Saya jadi paham pengelolaan sampah secara lebih wide: undang-undangnya apa, sejarahnya bagaimana, kebijakan ekonominya seperti apa. Berkuliah manajerial semakin membuka mata saya bahwa teknologi-teknologi yang saya pelajari itu tidak dapat menjadi solusi kalau manajemen aspek lainnya berantakan. Namun, di satu sisi, saya menyadari bahwa mempelajari ilmu persampahan di negara lain juga membuat saya berjarak dari realita persampahan yang terjadi di negara saya.

Sidang akhir
Suasana sidang akhir S2 saya
Sidang skripsi di ITB untuk S1 biasanya diuji oleh 3 dosen: 1 dosen pembimbing, 1 dosen dari KK/lab yang sama dan 1 dosen dari KK/lab yang berbeda. Sidang akhir berlangsung sekitar 2 jam, dengan 30 menit sesi saya presentasi dan 90 menit berikutnya sesi tanya jawab alias 'sesi pembantaian'. Sidang bersifat tertutup. Mengingat empat tahun yang lalu, keluar dari ruang sidang saat itu rasanya energi saya terkuras habis.

Berbanding terbalik dengan sidang S1 saya, sidang S2 saya di Kyoto University malah bisa dibilang lebih mirip seminar. Sesi sidang tersebut berlangsung selama 20 menit saja: 13 menit presentasi dan 7 menit tanya jawab. Sidang bersifat terbuka, selain sensei-sensei yang memang menguji saya, juga ada sensei lain yang mau menguji mahasiswa sesudah saya, juga ada tim hore penyemangat saya di bagian belakang ruangan. Sejujurnya saya merasa terbelah dengan fakta ini: di satu sisi saya bersyukur, ujiannya nggak sehoror sidang S1, tapi, masa usaha riset saya udah diujinya begini doang? Hahaha. Walau saya akui, singkat dan santainya acara sidang S2 kemarin tetap tidak mengurangi deg-degan saya menjelang presentasi sih. Persiapannya sama tegangnya, bedanya energi saya nggak terkuras habis setelahnya.

Closing Remarks
Jadi setelah mengalami perkuliahan di Indonesia dan di Jepang, lebih bagus sistem yang mana? Enakan yang mana? Lagi-lagi, saya nggak bisa memihak ke satu pihak. Satu hal yang saya pelajari, belum tentu negara maju yang kita percaya 'jauh lebih maju' itu selalu lebih baik dari kita. Saya menikmati perkuliahan saya di ITB maupun di Kyoto University, baik-baiknya, buruk-buruknya. Enam tahun berkuliah telah mengembangkan diri saya, baik secara ilmu maupun secara pribadi. I would not exchange those experiences with anything.

Love,



  • Share:

You Might Also Like

1 comments