Di antara berbagai aktivitas saya di kampus, mungkin menari adalah aktivitas yang terlihat paling nggak masuk akal. Kenapa?
Track record menari saya berhenti di masa taman kanak-kanak. Lalu, sejak SMP, saya berhenti olahraga - nggak basket, nggak main bola, atau melakukan olahraga rutin lainnya selain di jam olahraga sekolah (yang kebanyakan dimanfaatkan dengan duduk dan jajan). Dampaknya adalah, badan saya kaku banget. Kalau Papa bilang, kakunya kayak pulpen -__-
Jadi, kesambet apa saya tiba-tiba menari sejak tingkat 2 kuliah?
Berawal dari kekaguman saya dan Alyssa saat melihat performance unit-unit budaya di ITB. Kemudian kekaguman itu berubah menjadi ketertarikan.
"Tingkat 2 kita harus masuk unit budaya ya Cha!", dulu saya sama Alyssa bertekad seperti itu.
Unit budaya di ITB itu ada banyak. Secara anak ITB berasal dari aneka propinsi di Indonesia, jadi mau budaya Aceh sampai Papua, ada semua. Awalnya, saya tertarik sama UKA (Unit Kebudayaan Aceh), karena basicnya saya anak Al Azhar dan penasaran sama saman (yang entah kenapa waktu jaman sekolah malah nggak menarik).
Tapi kemudian saya tertarik sama tarian yang lenggak-lenggok (baca: nggak duduk aja). Di UKA, menurut Anggi, ada juga sih tarian yang bukan saman, tapi dominannya kan tetep si saman. Saat itulah saya mempertimbangkan Perkumpulan Seni Tari dan Karawitan Jawa (PSTK). Apalagi waktu itu di PLE 2010 (kaderisasi PSTK) ada Astrid, Baskoro, dan Bina yang ketiganya anak FTSL 2009 yang jadi newbie di unit budaya ini. Selain itu pelatih narinya si Rani yang anak TL juga. Fix, akhirnya PSTK jadi pilihan unit budaya saya.
Bisa dibilang, di PSTK ini saya benar-benar 'buta'. Banyak nggak tahu bahasa jawa, banyak nggak tahu istilah-istilah nari dan karawitan, dsb. Buat sebagian orang, mungkin annoyed banget karena saya lamban belajar, kaku setengah mati pula. Apalagi buat mereka yang sudah ahli dan punya passion soal nari dan budaya. Untungnya, sejauh ini orang-orang di PSTK masih sabar bantuin saya yang super lamban :')
Masalah eksistensi, mungkin karena masalah prioritas hidup, saya nggak se-total itu di PSTK. Tapi di luar pembahasan itu, yang mau saya bahas adalah poin yang mungkin ditanyakan juga oleh beberapa orang: Kenapa dengan badan sekaku ini, dengan kemampuan di bawah standar ini, saya masih juga menari?
Buat saya, menari adalah cara untuk 'keluar dari zona nyaman', cara saya 'belajar hal-hal baru', cara saya 'melakukan sesuatu untuk (mencoba) memperbaiki kelemahan diri'. Saya jadi tahu kalau menari itu capek banget lho, tapi ketika saya berhasil menarikan satu tarian dengan sukses tanpa cela di setiap detailnya itu rasanya puaaaas banget. Perasaan puas dan seneng yang dirasakan hampir sama seperti waktu saya berhasil bikin majalah yang memang passion saya hehe.
Pelajaran dari menari ini adalah, coba lakukan hal-hal baru, bahkan sesuatu yang mungkin (terpikir) 'nggak gw banget'. Kalau memang sudah mencoba, karena benar-benar newbie, coba untuk memaksimalkan perbaikan-perbaikan untuk memperbaiki kekurangan lo di bidang itu. Dibanding temen-temen yang lain, saya perlu banget latian sendiri di kostan, perlu banget merhatiin setiap detail yang biasanya dihiraukan kalau lagi latihan bareng (karena yg lain udah bener, cuma saya yang salah). Intinya, jangan capek belajar, belajar, dan belajar.
Target saya dari belajar menari ini?
Nggak muluk-muluk sih. Saya tahu banyaaaak banget yang belum saya pelajari, jadi target saya yang simpel-simpel aja. Pengen lebih lentur lagi badannya, pengen juga ngasih performance yang bagus, khususnya di acara TW 41 ini, bareng sama anak-anak PSTK yang lain. Pengennya dengan nonton acara ini dan acara-acara PSTK lainnya, orang-orang tertarik sama kebudayaan Indonesia. Buat kalian yang menganggap bunyi gamelan itu serem, kalau udah sering denger malah nagih lho! ;)
Untuk kesempatan menari yang ketiga, terimakasih ya PSTK ITB :)
Buat pembaca, ayo coba hal-hal baru! You don't have to be good at it, yang penting lo berusaha sebaik mungkin untuk menampilkan yang terbaik.
0 comments