Saya belum pernah ke sebuah kota seperti Pontianak. Kota yang kecil tapi padat, membuat saya dengan mudah mengingat jalan dan gedung di sekitar setelah berkeliling kota dalam satu hari saja. Walau kecil, kota ini mengingatkan pada istilah "melting pot", karena saya menemukan suku Dayak, Melayu, Cina, dan Jawa hidup berdampingan. Hal lain yang unik dari Pontianak - ia tarletak di koordinat nol dari garis khatulistiwa. Pada satu titik di Pontianak, kalian bisa berdiri di perbatasan: satu kaki di bagian utara bumi dan satu kaki di bagian selatan bumi.
Ketika pertama tiba di Pontianak, kesan pertama saya: panas!
Saat itu baru pukul 8 pagi, tapi teriknya matahari rasanya seperti pukul 12 siang.
Saya, Rizky dan tim risetnya (Aji dan Aziz) dijemput oleh relasi setempat untuk kemudian diajak sarapan di daerah Gadjah Mada. Ternyata, daerah ini adalah 'Chinatown' nya Pontianak. Tempat sarapan kami adalah foodcourt yang penjualnya berjajar di bagian luar area makan dengan gerobak masing-masing. Pagi itu hari Minggu, tidak heran foodcourt itu sangat ramai pengunjung. Saya yang tidak biasa sarapan 'berat', memilih untuk memesan sepiring pisang goreng dan segelas kopi susu. Surprisingly, kopi susu yang saya pesan enak banget! Ternyata, Pontianak terkenal dengan budaya ngopi, sehingga kopi-kopi yang ada di kota ini enak-enak. Teman kami berjanji untuk mengajak kami ke tempat ngopi yang kopinya lebih enak lagi. Can't wait!
Kopi dan pisang goreng, sarapan pertama saya di Pontianak |
Setalah sarapan, kami menuju kostan di daerah Ali Anyang, tempat kami akan tinggal selama beberapa minggu ke depan. Kostan ini sudah menjadi tempat bernaung Rizky dan Aji sejak Rizky riset S2. Penjaga kostan transmigran asal Jawa yang biasa dipanggil Bu'le menyambut saya dengan sumringah. Kebayang kan, biasa melihat Rizky versi bujang sekarang sudah bawa istri, seperti apa doi senangnya. Kami pun ngobrol-ngobrol dengan Bu'le sebelum kemudian menjelajah Pontianak.
Tempat pertama yang kami datangi adalah Masjid Raya Muhajidin. Saya selalu berusaha menyempatkan ke masjid terbesar di setiap kota baru yang saya datangi di Indonesia. Dari beberapa masjid yang pernah saya datangi, saya merasa Masjid Raya Muhajidin-nya Pontianak adalah masjid tercantik yang pernah saya lihat! Masjidnya berwarna dasar putih, dengan pilar-pilar besar yang memiliki aksen emas dan abu-abu. Pintu-pintu di masjidnya terbuat dari kayu, terlihat kuat dan elegan dengan cat warna emas. Lantainya marmer hitam, memantulkan kecantikan masjid dengan sempurna. I was really amazed. Masya Allah.
Setelah shalat dzuhur, kami menuju destinasi selanjutnya: rumah tradisional Dayak dan Melayu. Bisa dibilang, dua suku ini adalah suku asli di wilayah Pontianak, sehingga rumah tradisional keduanya dibuatkan destinasi wisata yang bisa dikunjungi oleh turis. Sayangnya karena waktu kami datang sedang ada acara pernikahan di rumah tradisional melayu, kami hanya menjelajahi rumah tradisional dayak saja.
Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan 'Rumah Panjang'. Karena memang rumahnya panjang banget! Menurut Rizky yang saking seringnya ke Pontianak sudah bisa jadi tour guide, dulunya, satu keluarga dalam suku Dayak biasanya ditampung di satu rumah. Karena itulah, rumahnya panjang dan besar, karena batasan 'keluarga' nya juga luas - nenek, kakek, tante, om, ikut semua di satu rumah. Salah satu icon dari Rumah Panjang adalah tangga besi yang terletak di beberapa sisi rumah. Tangga ini adalah kayu yang sangat kuat, dikikis dibentuk tangga kemudian disandarkan ke bagian depan rumah. Konon, tamu yang berkunjung harus masuk melalui tangga besi ini. Kalau mereka menolak, mereka langsung dianggap musuh dan perang langsung terjadi di depan rumah.
Tujuan kami berikutnya hari itu adalah Alun-Alun Kapuas. Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, membelah kota Pontianak tepat di tengah-tengah. Kami tiba ketika hari sudah gelap. Alun-Alun Kapuas ternyata adalah tempat berkumpulnya anak-anak muda Pontianak (selain Ayani Mall, satu-satunya mall besar di kota kecil ini). Berkeliling, saya melihat keunikan: pedagang kaki lima di Alun-Alun Kapuas tidak menggunakan gerobak, tapi menggunakan perahu!
Selain perahu-perahu pedagang kaki lima, di pinggir sungai juga ada beberapa kapal besar yang berhenti. Kapalnya terdiri dari dua lantai, dengan interior nuansa warung kopi. Kapal-kapal ini berlayar secara bergantian, membawa penumpangnya yang sedang ngopi menikmati pemandangan dari Alun-Alun Kapuas sampai ke Jembatan Kapuas, sebelum kemudian berputar balik kembali.
Hari berikutnya, kami mengunjungi Tugu Khatulistiwa. Pada lokasi di mana tugu ini berdiri lah, titik nol khatulistiwa berada. Tugu Khatulistiwa awalnya didirikan pada 1928, dengan tinggi sekitar 4 meter. Menurut Bapak penjaga Tugu Khatulistiwa, tugu ini kemudian menjadi tempat berkumpul anak-anak muda dan banyak yang mencoret-coret tugu tersebut. Karena itu, pada tahun 1990 didirikan bangunan dome yang 'melindungi' tugu asli, sementara tugu baru berukuran lima kali tugu asli didirikan di bagian atas dome.
Bagian dalam dome adalah museum. Selain dapat melihat tugu asli, ada juga beberapa 'mading' yang menjelaskan tentang tata surya, matahari, bumi, dan khatulistiwa. Saya mempelajari bahwa ada istilah titik kulminasi matahari (ekinoks), di mana matahari berada tepat di wilayah khatulistiwa. Hari kulminasi ini terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada akhir Maret dan akhir September. Saat kulminasi terjadi, tidak ada bayangan pada saat jam 12 siang! Selain itu, akan ada perayaan/upacara dari pemerintah kota Pontianak untuk menyambut hari kulminasi tersebut. Sayang sekali pada saat kulminasi, kami sudah kembali ke Pulau Jawa.
Di area Tugu Khatulistiwa juga ada ruang terbuka, taman bermain, dan akses ke pinggir sungai Kapuas. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar menikmati sore di kapal yang berlabuh di pinggir sungai. Walau di titik khatulistiwa ini panas itu nyata adanya, keberadaan sungai Kapuas menjadi anugerah tersendiri karena memberikan hawa sejuk. Kami menikmati kopi di kapal yang berlabuh, ditemani lagu Fourtwnty yang diputar Mbak penjaga warung kopi, sambil memandangi nelayan-nelayan setempat yang sedang memancing udang.
Hari-hari berikutnya, kami tidak bepergian khusus ke tempat wisata, namun menyelipkan wisata kuliner di antara kegiatan wawancara Rizky di Pontianak. Wisata kuliner kami yang worth to write antara lain:
1. Durian Pontianak
Saat kami datang, sayangnya musim durian baru saja berakhir, sehikngga di jalanan yang biasanya ramai dengan penjual durian kini hanya tinggal satu penjual saja. Percaya nggak, momen itu adalah pertama kalinya saya makan buah durian! Hahaha! Karena duriannya adalah sisa-sisa, jadi rasanya biasa saja, kata Rizky yang sudah biasa makan. Bagi saya, hmm daging durian enak, sih. Enak tapi bikin waspada. Saya sudah terlalu sering dengar isu kesehatan akibat kebanyakan makan durian, jadi saya nggak tertarik mencoba lebih banyak. Satu-dua gigit saja cukup, hehehe.
2. Warung Kopi Sariwangi
Wisata kuliner berikutnya adalah ke tempat yang membuat kami ketagihan kembali lagi dan lagi: Warkop Sariwangi. Awalnya, kami diundang sarapan bersama ke tempat ini oleh Om Iqbal, mantan mahasiswa Papanya Rizky yang sudah seperti orang tua Rizky selama di Pontianak. Kami mengobrol dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang sambil menyesap kopi, mengunyah sate, dan mencoba martabak srikaya (enak banget!). Saya tidak menyangka obrolan bersama Om Iqbal dan dua temannya yang juga Bapak-Bapak bisa sebegitu menariknya, sampai kami bertahan selama tiga jam. Suasana Warkop Sariwangi yang nyaman dan staf yang ramah membuat kami betah. Saya terutama terkesan dengan kenyataan bahwa di Warkop ini, setiap tamu yang datang sepertinya kenal dengan satu sama lain. Staf Warkop pun sepertinya hafal dengan (hampir) semua pelanggan yang datang. Ternyata, kota Pontianak yang kecil dan budaya ngopi sebagai ajang silaturahmi menjadi alasan mengapa orang yang mampir ke Warkop ini bisa dihafal. Sangat berbeda dengan budaya ngopi anak zaman now di kafe kekinian, di Warkop Sariwangi, orang benar-benar ngopi sambil ngobrol. Bukan sambil online chatting atau update status di instagram.
3. Seafood Pontianak
Ke Pontianak sepertinya belum sah kalau belum mencoba seafoodnya. Kami beberapa kali berkesempatan untuk mencoba seafood Pontianak: dari pengalaman anak kostan sok-sokan makan seafood ala bos, sampai makan seafood bareng para bos beneran. Alhamdulillah, semua seafoodnya enak! Dua restauran yang kami datangi adalah Abang Kepiting dan Pondok Nelayan. Favorit kami adalah kepiting saus lada hitam di Abang Kepiting. Enak banget! Oh iya, Pontianak juga punya seafood khas, namanya Asam Pedas. Isinya adalah ikan berbumbu pedas dengan potongan nanas di kuahnya. Saya lebih suka Asam Pedas nya Pondok Nelayan (di foto bawah kedua, di bagian tengah atas dekat nasi), karena versi Abang Kepiting rasa tomatnya terlalu terasa dan saya nggak suka tomat, mon maap.
4. Bubur Pedas Pa' Ngah
Tujuan kuliner terakhir adalah hasil nonton vlog jalan-jalan di Pontianak. Rizky penasaran dengan bubur pedas, karena walau sudah beberapa kali ke Pontianak, doi belum pernah mencoba makanan yang katanya khas Pontianak ini. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik, karena buburnya terlihat seperti bubur manado versi gelap, yang mana saya bukan penggemarnya. Walau demikian, kami tetap mengunjungi restauran Bubur Pedas Pa' Ngah, yang ternyata dekat sekali dari kostan kami. Selain memesan bubur pedas, kami juga memesan es jeruk besar yang juga khas Pontianak. Setelah dicoba, bisa dibilang, secara rasa, bubur pedas itu sebenarnya enak. Namun secara tekstur, jelas bagi saya maupun Rizky dan Aziz, bubur pedas bukan favorit kami. Es jeruknya enak dan segar, btw!
Bisa dibilang, saya senang bisa kembali ke Kalimantan. Berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya di Balikpapan, di Pontianak kemarin lebih terasa seperti 'tinggal sementara' daripada 'jalan-jalan'. Tidak seperti jalan-jalan ala turis yang selalu ingin mengunjungi tempat baru, kami tidak keberatan sarapan di Warkop Sariwangi beberapa kali atau shalat di Masjid Raya Muhajidin lagi dan lagi. Saya jadi agak paham kenapa Rizky suka dengan kota ini, walau kalau disuruh tinggal for good saya masih mikir-mikir, haha! Anyway, saya bersyukur diajak ke sini, semoga lain kali bisa mampir lagi. Seperti yang orang Pontianak bilang: 'kalau sudah minum air kapuas, pasti balik lagi'.
Well then, sampai ketemu lagi Pontianak!
Salam,
Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan 'Rumah Panjang'. Karena memang rumahnya panjang banget! Menurut Rizky yang saking seringnya ke Pontianak sudah bisa jadi tour guide, dulunya, satu keluarga dalam suku Dayak biasanya ditampung di satu rumah. Karena itulah, rumahnya panjang dan besar, karena batasan 'keluarga' nya juga luas - nenek, kakek, tante, om, ikut semua di satu rumah. Salah satu icon dari Rumah Panjang adalah tangga besi yang terletak di beberapa sisi rumah. Tangga ini adalah kayu yang sangat kuat, dikikis dibentuk tangga kemudian disandarkan ke bagian depan rumah. Konon, tamu yang berkunjung harus masuk melalui tangga besi ini. Kalau mereka menolak, mereka langsung dianggap musuh dan perang langsung terjadi di depan rumah.
Rumah Panjang Dayak |
Tangga kayu besi, feat. Aziz |
Tiang-tiang penyangga rumah panjang |
Rumah tradisional melayu |
Selain perahu-perahu pedagang kaki lima, di pinggir sungai juga ada beberapa kapal besar yang berhenti. Kapalnya terdiri dari dua lantai, dengan interior nuansa warung kopi. Kapal-kapal ini berlayar secara bergantian, membawa penumpangnya yang sedang ngopi menikmati pemandangan dari Alun-Alun Kapuas sampai ke Jembatan Kapuas, sebelum kemudian berputar balik kembali.
Hari berikutnya, kami mengunjungi Tugu Khatulistiwa. Pada lokasi di mana tugu ini berdiri lah, titik nol khatulistiwa berada. Tugu Khatulistiwa awalnya didirikan pada 1928, dengan tinggi sekitar 4 meter. Menurut Bapak penjaga Tugu Khatulistiwa, tugu ini kemudian menjadi tempat berkumpul anak-anak muda dan banyak yang mencoret-coret tugu tersebut. Karena itu, pada tahun 1990 didirikan bangunan dome yang 'melindungi' tugu asli, sementara tugu baru berukuran lima kali tugu asli didirikan di bagian atas dome.
Bagian dalam dome adalah museum. Selain dapat melihat tugu asli, ada juga beberapa 'mading' yang menjelaskan tentang tata surya, matahari, bumi, dan khatulistiwa. Saya mempelajari bahwa ada istilah titik kulminasi matahari (ekinoks), di mana matahari berada tepat di wilayah khatulistiwa. Hari kulminasi ini terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada akhir Maret dan akhir September. Saat kulminasi terjadi, tidak ada bayangan pada saat jam 12 siang! Selain itu, akan ada perayaan/upacara dari pemerintah kota Pontianak untuk menyambut hari kulminasi tersebut. Sayang sekali pada saat kulminasi, kami sudah kembali ke Pulau Jawa.
Di area Tugu Khatulistiwa juga ada ruang terbuka, taman bermain, dan akses ke pinggir sungai Kapuas. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar menikmati sore di kapal yang berlabuh di pinggir sungai. Walau di titik khatulistiwa ini panas itu nyata adanya, keberadaan sungai Kapuas menjadi anugerah tersendiri karena memberikan hawa sejuk. Kami menikmati kopi di kapal yang berlabuh, ditemani lagu Fourtwnty yang diputar Mbak penjaga warung kopi, sambil memandangi nelayan-nelayan setempat yang sedang memancing udang.
Tugu asli, garis hijau di tengah membagi utara dan selatan bumi |
Us with the new monument outside the dome |
Area sekitar Tugu Khatulistiwa |
Hari-hari berikutnya, kami tidak bepergian khusus ke tempat wisata, namun menyelipkan wisata kuliner di antara kegiatan wawancara Rizky di Pontianak. Wisata kuliner kami yang worth to write antara lain:
1. Durian Pontianak
Saat kami datang, sayangnya musim durian baru saja berakhir, sehikngga di jalanan yang biasanya ramai dengan penjual durian kini hanya tinggal satu penjual saja. Percaya nggak, momen itu adalah pertama kalinya saya makan buah durian! Hahaha! Karena duriannya adalah sisa-sisa, jadi rasanya biasa saja, kata Rizky yang sudah biasa makan. Bagi saya, hmm daging durian enak, sih. Enak tapi bikin waspada. Saya sudah terlalu sering dengar isu kesehatan akibat kebanyakan makan durian, jadi saya nggak tertarik mencoba lebih banyak. Satu-dua gigit saja cukup, hehehe.
2. Warung Kopi Sariwangi
Wisata kuliner berikutnya adalah ke tempat yang membuat kami ketagihan kembali lagi dan lagi: Warkop Sariwangi. Awalnya, kami diundang sarapan bersama ke tempat ini oleh Om Iqbal, mantan mahasiswa Papanya Rizky yang sudah seperti orang tua Rizky selama di Pontianak. Kami mengobrol dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang sambil menyesap kopi, mengunyah sate, dan mencoba martabak srikaya (enak banget!). Saya tidak menyangka obrolan bersama Om Iqbal dan dua temannya yang juga Bapak-Bapak bisa sebegitu menariknya, sampai kami bertahan selama tiga jam. Suasana Warkop Sariwangi yang nyaman dan staf yang ramah membuat kami betah. Saya terutama terkesan dengan kenyataan bahwa di Warkop ini, setiap tamu yang datang sepertinya kenal dengan satu sama lain. Staf Warkop pun sepertinya hafal dengan (hampir) semua pelanggan yang datang. Ternyata, kota Pontianak yang kecil dan budaya ngopi sebagai ajang silaturahmi menjadi alasan mengapa orang yang mampir ke Warkop ini bisa dihafal. Sangat berbeda dengan budaya ngopi anak zaman now di kafe kekinian, di Warkop Sariwangi, orang benar-benar ngopi sambil ngobrol. Bukan sambil online chatting atau update status di instagram.
3. Seafood Pontianak
Ke Pontianak sepertinya belum sah kalau belum mencoba seafoodnya. Kami beberapa kali berkesempatan untuk mencoba seafood Pontianak: dari pengalaman anak kostan sok-sokan makan seafood ala bos, sampai makan seafood bareng para bos beneran. Alhamdulillah, semua seafoodnya enak! Dua restauran yang kami datangi adalah Abang Kepiting dan Pondok Nelayan. Favorit kami adalah kepiting saus lada hitam di Abang Kepiting. Enak banget! Oh iya, Pontianak juga punya seafood khas, namanya Asam Pedas. Isinya adalah ikan berbumbu pedas dengan potongan nanas di kuahnya. Saya lebih suka Asam Pedas nya Pondok Nelayan (di foto bawah kedua, di bagian tengah atas dekat nasi), karena versi Abang Kepiting rasa tomatnya terlalu terasa dan saya nggak suka tomat, mon maap.
4. Bubur Pedas Pa' Ngah
Tujuan kuliner terakhir adalah hasil nonton vlog jalan-jalan di Pontianak. Rizky penasaran dengan bubur pedas, karena walau sudah beberapa kali ke Pontianak, doi belum pernah mencoba makanan yang katanya khas Pontianak ini. Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik, karena buburnya terlihat seperti bubur manado versi gelap, yang mana saya bukan penggemarnya. Walau demikian, kami tetap mengunjungi restauran Bubur Pedas Pa' Ngah, yang ternyata dekat sekali dari kostan kami. Selain memesan bubur pedas, kami juga memesan es jeruk besar yang juga khas Pontianak. Setelah dicoba, bisa dibilang, secara rasa, bubur pedas itu sebenarnya enak. Namun secara tekstur, jelas bagi saya maupun Rizky dan Aziz, bubur pedas bukan favorit kami. Es jeruknya enak dan segar, btw!
Bisa dibilang, saya senang bisa kembali ke Kalimantan. Berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya di Balikpapan, di Pontianak kemarin lebih terasa seperti 'tinggal sementara' daripada 'jalan-jalan'. Tidak seperti jalan-jalan ala turis yang selalu ingin mengunjungi tempat baru, kami tidak keberatan sarapan di Warkop Sariwangi beberapa kali atau shalat di Masjid Raya Muhajidin lagi dan lagi. Saya jadi agak paham kenapa Rizky suka dengan kota ini, walau kalau disuruh tinggal for good saya masih mikir-mikir, haha! Anyway, saya bersyukur diajak ke sini, semoga lain kali bisa mampir lagi. Seperti yang orang Pontianak bilang: 'kalau sudah minum air kapuas, pasti balik lagi'.
Well then, sampai ketemu lagi Pontianak!
Salam,