Why Writing Matters

By Anissa Ratna Putri - April 10, 2018


Disclaimer: This post is about how writing affect my personal life. It might content some ranting, nyinyir, and all other curcol things. If you are looking for writing tips, writing motivation or such, you will not find it here.

Nggak terasa, sudah satu bulan lebih saya tidak menulis blog. Kemana komitmen saya menulis satu post per bulan? Jujur, kesempatan menulis itu ada - karena bagi saya tidak ada yang tidak sempat ketika kita memilih untuk meluangkan waktu untuk melakukannya. Saya tidak menulis dalam satu bulan terakhir karena saya memilih untuk diam ketika saya merasa terlalu banyak hal yang harus diurus dan ketika kepala dan hati saya exhausted. I know that if I write, it's gonna be a long rant. Kalaupun saya paksakan menulis, saya merasa kehilangan jiwa saya di dalam tulisan itu. So I stopped posting blog. Until now.

Bulan lalu, saya dan Rizky pulang ke Indonesia. Rizky perlu ambil data lagi untuk disertasinya ke Kalimantan, selain juga mampir ke Bandung dan Bekasi untuk menengok orang tua. Saat pulang kemarin Rizky ingin saya ikut ke Kalimantan karena ia ingin memperlihatkan ke saya, seperti apa tempat penelitiannya. Saya cukup excited, karena sudah lama nggak menjelajahi daerah baru di Indonesia. It was my first time in Pontianak, the first time in palm oil plantation. All I thought after exploring was: I'm going to post something about this city, about the palm oil that I see in the real life, soon in my blog! 

Tapi, saya kemudian menunda keinginan saya itu. 

Ada beberapa alasan; pertama karena ada prioritas untuk mendaftarkan Rizky beasiswa yang mana hanya saya yang bisa membantunya karena saat deadline pendaftaran Rizky sedang penelitian di remote area Kalimantan. Kedua karena dengan mengalokasikan waktu saya untuk kepentingan Rizky ini saya jadi kehilangan jati diri, inginnya selama di Jakarta produktif ketemu A B C D untuk karir saya kedepannya, namun nggak kesampaian karena kepala saya fokus pada hal pertama. Sementara, saya juga punya bayang-bayang 'the unspoken questions' yang menghantui semenjak menikah dan rasanya menggedor lebih keras di saat saya pulang ke Indonesia kemarin.

The unspoken questions yang saya maksud adalah:
'Nissa kegiatannya ngapain ya sekarang? S3 lagi ya di Jepang?' 
Atau kalau yang sudah tahu saya nggak S3: 'Nissa ngapain aja ya di Jepang apalagi kalau Rizky lagi sibuk ngurusin urusan kuliah?'
'Nissa nggak pengen kerja? Sayang banget gelar S2nya'

Nggak ada, nggak ada yang pernah menuntut saya secara langsung dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Kalaupun ada yang bertanya, saya tahu maksud mereka baik, bertanya sebagai sesama teman atau keluarga yang peduli.
Saya tahu apapun yang saya jalani sekarang adalah pilihan hidup saya dan saya seharusnya tidak merasa insecure dengan apa yang sudah saya pilih.
Tapi, proses untuk tidak insecure itu sejujurnya sulit. Saya masih, masih dan terus belajar untuk menerima apa yang saya pilih. Sebagai klarifikasi, tidak ada yang saya sesali dari jalan yang saya pilih: menikah setelah S2 dan menemani Rizky sampai S3 nya selesai. Saya percaya, jalan saya untuk mencapai apa yang saya inginkan di karir saya akan ada waktunya.

Walau demikian, saya tetap merasa harus menjelaskan (I have no obligation to explain myself to anyone so let's just assume this is me explaining to my-complicated-self) bahwa selama masa 'menemani Rizky' ini, saya tidak merasa kesepian atau gabut atau sedih karena jobless. Saya memilih untuk ambil kelas di online course, belajar bahasa jepang khususnya kanji secara otodidak, mencari berbagai peluang menulis di freelancer website, belajar dan praktek menulis, baca-baca paper-paper persampahan yang dulu saya terlalu sibuk untuk membacanya, dan tentu saja eksperimen masak makanan Indonesia yang dari dulu ingin saya coba. Oh, dan saya juga 'menemani' turis Indonesia yang jalan-jalan di Jepang every once in a while. I managed to keep myself busy everyday, and to be honest, I am quite happy with what I have now. I believe achievement is not merely measured by career progress but also by what you want to do in life. 

Selama satu bulan ini, karena pelbagai hal yang saya jelaskan di atas, mood saya tidak berada dalam kondisi terbaik sampai saya merasa kehilangan kontrol atas diri saya sendiri.
Tentu saja, Rizky selalu tahu apa yang terjadi dengan diri saya, tapi ternyata itu saja tidak cukup. 
Selain self acceptance yang belum mencapai 100%, ada sesuatu yang membuat saya masih merasa uring-uringan, dan sepertinya, itu adalah waktu menulis saya yang hilang. Atau tepatnya, waktu menulis yang saya pilih untuk hilangkan dari keseharian saya. I feel like my world is taken. Padahal, tidak ada yang mengambil waktu menulis saya selain diri saya sendiri. It's all about priority.

Menyadari hal ini, hari ini, saya meluangkan waktu untuk blogwalking ke beberapa blog orang-orang yang saya ikuti. Ternyata, bulan-bulan ini banyak blogger yang saya ikuti juga menceritakan kehidupan personalnya yang sedang bergejolak atau berubah dari biasanya.
(Btw kalau kalian ada waktu, cek tulisannya Nicoline deh. Nasihat dari Bapak India ke Nicoline menurut saya bagus banget khususnya buat para OCD/perfeksionis)

Saya menyadari bahwa untuk memulai menulis lagi, saya tidak harus sempurna.
Saya tidak harus dalam 'the best state of mind' karena menulis itu sendiri adalah salah satu healing process untuk mengeluarkan apa yang mengganggu pikiran kita.

Saya selalu ingin menulis karena saya ingin berbagi. 
The thought that someone will get inspired, someone will learn something from what I write, drives me to keep writing. 
Tapi, ternyata fungsi menulis bagi saya bukan cuma itu.
Writing is one of the thing that keeps me sane.

Sampai ketemu di tulisan saya berikutnya ya. Segera! :)


  • Share:

You Might Also Like

0 comments