Foto dari self.com |
Sampah makanan bagi saya sebenarnya tidak masuk akal dan melihatnya agak membuat saya sakit hati. Kenapa? Ini beberapa sudut pandang saya tentang makanan.
Makanan itu dari awal dibuat untuk dimakan, bukan untuk dibuang.
Ini jelas, tapi mungkin perlu diperjelas untuk sebagian orang. Makanan itu dibuat untuk kita nikmati, untuk memenuhi kebutuhan primer kita untuk hidup. Saya paham setiap orang punya batas kekenyangan. Karena itu saya selalu ambil/pesan makanan sesuai porsi yang sanggup dimakan. Lebih baik nambah ketika merasa kurang daripada pesan kebanyakan lalu dibuang. Kalau ada bagian yang tidak disukai dari sebuah makanan, saya biasanya bilang di awal ke pelayannya supaya elemen yang tidak disukai tidak dimasukkan ke makanan - daripada nantinya nggak saya makan dan terbuang. Kalau nggak bisa? Share sama suami/teman/keluarga yang lagi makan bareng atau nggak usah pesan menu yang ada elemen yang nggak bakal dimakan. Simpel.
Makanan itu dibuat dengan tenaga seseorang dan diambil dari sumber daya alam - keduanya patut dihargai.
Karena saya sering masak, saya tahu bahwa bahan makanan bisa melewati proses sekian lama sebelum sampai ke piring saya. Saya tahu bahan-bahan yang ada di dalamnya mungkin nggak semuanya mudah didapatkan. Saya juga tahu kalau memasak itu kadang melelahkan. Seandainya saya sudah capek masak kemudian ada orang yang membuang masakan saya, saya pasti sedih. Karena itu, saya berusaha menghargai bahan, proses, dan orang yang memasak dengan menghabiskan makanan yang ada. Selama makanan itu tidak membuat saya sakit atau keracunan, saya tidak akan sampai hati membuangnya.
Punya makanan yang bisa dimakan setiap hari dan bisa makan tanpa kendala itu adalah sebuah kemewahan yang harus disyukuri.
Saya kalau telat makan biasanya uring-uringan. Bagi saya, makan = bahagia. Saya pernah merasakan beberapa kali sakit tifus yang membuat saya harus pilih-pilih makanan. Sungguh itu nggak enak banget. Bisa makan apa saja, punya akses ke berbagai makanan itu bagi saya adalah kemewahan yang membahagiakan. Karena itu, menurut saya tidak masuk akal bagi seseorang untuk menyia-nyiakan kebahagiaan yang tersaji di piringnya.
That being said, saya melihat bahwa nggak semua orang punya pandangan seperti saya - entah belum tercerahkan atau memang nggak peduli aja. Menimbang hal ini, saya ingin berbagi beberapa fakta tentang sampah makanan.
1. Jumlah sampah makanan yang ada > kebutuhan makan mereka yang kelaparan
Berdasarkan data dari FAO, sampah makanan dunia pada tahun 2011 yatu 1.3 milyar ton/tahun (1). Sebanyak apa 1.3milyar ton? Kira-kira sebanyak porsi makan untuk 2 milyar orang (2). Sementara, pada tahun yang sama, data FAO menunjukkan ada 813juta orang yang kelaparan / mengalami gizi buruk (3).
Untuk Indonesia, banyaknya sampah makanan yang dihasilkan yaitu 300kg/orang/tahun (4) - diprediksi oleh The Economist Intelligence Unit sebagai penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia. Sementara kita membuang makanan, masih ada 19.4 juta orang Indonesia lainnya yang tidak bisa memenuhi kebutuhan makannya dengan baik (kelaparan/kurang gizi) (5).
2. Sampah makanan = waste of resource & money
Untuk menanam dan beternak bahan makanan yang kita makan, butuh lahan, air, dan energi. Di tahun 2007, lahan sebesar 1.4 milyar hektar digunakan untuk memproduksi makanan yang berakhir tidak dikonsumsi (menjadi sampah makanan) (6). Luas lahan 1.4 milyar hektar tersebut kira-kira setara dengan 7x luas negara Indonesia. Sementara, 250 km3 dari air bersih yang ada di dunia digunakan untuk memproduksi makanan yang berakhir tidak dikonsumsi (6). Volume air yang 'terbuang' ini kurang lebih setara dengan volume seluruh air yang ada di Danau Toba. Kemudian, jika dihitung nilainya, sampah makanan dunia bernilai USD 310-680 milyar (7). Apakah worth it untuk menjadi bagian dari mereka yang menyia-nyiakan sumber daya sebanyak ini hanya karena malas menghabiskan atau mengambil lebih dari porsi yang kita sanggup?
Foto dari eugeneveg.org |
Berdasarkan penelitian FAO, total nilai emisi karbon dari sampah makanan global pada 2007 diestimasi sebesar 3.3 milyar ton CO2 eq (tidak termasuk emisi dari perubahan guna lahan) (8). Pada 2011, data ini diperbarui menjadi 3.6 milyar ton CO2 eq kemudian ditambahkan dengan 0.8 milyar ton CO2 eq dari emisi deforestasi - jadi, total emisi sampah makanan yatu 4.4 milyar ton CO2 eq (9). Dengan nilai sebesar ini, jika sampah makanan itu adalah sebuah negara, maka ia menduduki ranking ketiga sebagai penyumbang emisi karbon setelah China dan USA (8).
Dari emisi karbon yang ada, emisi karbon sampah makanan pada tingkat konsumen berkontribusi paling besar, yaitu 37% dari seluruh fase hidup makanan (9). Jumlah sampah makanan pada tingkat konsumen, walau tidak sebanyak pada tingkat produksi, tetap berkontribusi cukup signifikan, yaitu 22% dari total sampah makanan dalam fase hidup makanan tersebut (9).
Kalau sudah baca tulisan di atas, saya rasa kalian setuju - sampah makanan tidak masuk akal secara logika dan secara moral. Masih mau buang-buang makanan?
Salam hijau,