Misi saya ke Solo dan Yogya saat itu: membangun kenangan baru. Terlepas dari Kakek dan Nenek saya yang sebenarnya berasal dari dua kota ini, saya tidak pernah punya ikatan atau kenangan manis dengan Solo maupun Yogya. Ternyata, trip santai bersama Rizky beberapa waktu lalu cukup berhasil meninggalkan memori menyenangkan pada dua kota ini. Ini dia tempat-tempat yang saya kunjungi selama di Solo dan Yogya.
De Tjolomadoe, Solo
Museum ini awalnya adalah pabrik gula lokal yang didirikan oleh Pakubuwana IV, raja di Kesultanan Surakarta, Solo. Pabrik gula De Tjolomadoe beroperasi sejak zaman VOC hingga ditutup pada tahun 1998. Isi museumnya menceritakan sejarah gula secara global maupun secara lokal serta sejarah pabrik gula tersebut. Yang menarik dari museum ini adalah cara mereka mengemas cerita sejarah dalam museum: memamerkan mesin pembuat gula jaman dahulu, memasang berbagai infografis, menyajikan layar digital yang dapat berinteraksi dengan pengunjung, hingga menginterpretasikan sejarah pabrik gula dalam seni. Di dalam museum ini juga tersedia food court dan kafe bagi pengunjung yang ingin beristirahat setelah jalan-jalan. Bagi saya yang penikmat museum, saya suka sekali dengan penyajian museum ini! Untuk anak jaman now yang ingin foto-foto kekinian pun menurut saya bangunan museum ini cukup artsy untuk foto-foto. Museum De Tjolomadoe buka Selasa-Minggu 10:00-21:00. Tiket masuk museumnya 25K saja.
Tumurun Private Museum, Solo
Bagi penikmat seni dan yang suka foto-foto artsy, Tumurun Private Museum ini adalah tempat yang cocok. Saya tidak terlalu paham lukisan, namun untungnya, di Tumurun Private Museum ini semua karya yang dipajang dilengkapi dengan barcode yang bila di scan akan menyajikan penjelasan tentang karya tersebut. Saya sangat menikmati karya-karyanya, sayangnya karena keterbatasan waktu, saya tidak bisa membaca semua penjelasan karya yang ada. Oh iya, untuk masuk ke Tumurun Private Museum, kita perlu reservasi terlebih dahulu melalui WA. Setiap pengunjung dibatasi untuk jalan-jalan di dalam museum maksimal selama satu jam. The best part is - museum ini gratis! Mereka buka Senin-Jumat 10:00-17:00 dan Sabtu dan Minggu 09:00-13:00/14:00.
Alun-alun Kidul, Yogyakarta
Saya cukup kaget karena jam 9 malam ketika tiba di Alun-alun Kidul suasana masih ramai. Selain warga setempat, ada pula tukang yang menjaga odong-odong berlampu di bagian pinggir alun-alun dan tukang rental penutup mata yang menyewakan penutup mata seharga Rp 5,000. Ada kepercayaan yang mengatakan jika dapat berjalan lurus dengan menutup mata dari pinggir alun-alun hingga ke pohon beringin yang berada di tengah alun-alun, maka keinginannya akan terkabul. Ternyata, cukup banyak warga yang mencoba berjalan dengan mata tertutup - salah satunya adalah Rizky. Sayang, usaha Rizky 5x tidak berhasil, hehehe. Saya, Rizky, dan teman kami Mursyid juga mencoba naik odong-odong dengan membayar 50K. Sebagai catatan, harga ini mahal ya, kalian bisa tawar sampai 15-30K. Saran saya, pilih odong-odong yang sesuai dengan jumlah kalian. Jangan seperti saya yang hanya bertiga namun naik odong-odong untuk berenam - berat gowesnya!
Kawasan Wisata Taman Sari, Yogyakarta
Kawasan ini adalah bagian sisa-sisa peninggalan Kraton Yogyakarta jaman dahulu. Dengan tiket masuk sebesar Rp 5,000/orang, kita dapat mengunjungi Kolam Pemandian bangsawan Yogya, Sumur Gumuling (bekas masjid bawah tanah), Water Castle, dan lain-lain. Bagi kalian yang membawa kamera akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 3,000/kamera. Berjalan-jalan di kawasan ini tanpa guide memang terasa agak 'hampa' karena kami tidak bisa memahami sejarah bangunan-bangunan ini. Pilihannya bagi kalian yang kepo sejarahnya tapi nggak ingin sewa guide, browsing dulu sebelum atau saat jalan-jalan. Dari semua bangunan peninggalan yang ada, saya sebenarnya paling terkesima dengan Sumur Gumuling karena arsitekturnya yang unik dan terletak di bawah tanah. Tapi tidak bisa dipungkiri juga, di Sumur Gumuling ini saya paling khawatir akan munculnya penampakan, karena tidak ada pencahayaan selain cahaya matahari di bagian tengah - yang menyebabkan lorong-lorongnya semua gelap gulita.
Yang dimaksud gumuk pasir ternyata adalah tumpukan pasir di pinggir pantai yang membentuk bukit - nyaris seperti gurun pasir di negara arab, hanya saja luasnya lebih sempit dan pasirnya berwarna abu. Karena kami datang ke sini bersama Mursyid yang adalah sarjana kehutanan, kami mendapat informasi tambahan tentang tumbuhan-tumbuhan di Gumuk Pasir - seperti tentang bagaimana bisa kini ada taman bunga matahari yang mekar di beberapa spot tanah berpasir ini. Ternyata, adanya introduksi spesies yang dapat mengikat air lebih banyak adalah jawabannya. Saran saya, datanglah ke Gumuk Pasir di sore hari, karena kalau datang jam 2 siang seperti saya, panas banget! Oh iya untuk masuk ke wilayah Gumuk Pasir, ada biaya masuk Kawasan Wisata Parangtritis di gerbang depan, yaitu seharga Rp7,000/orang dan Rp 5,000/mobil.
Candi Ijo, Yogyakarta
Tujuan kami sore itu adalah mencari spot untuk menyaksikan matahari terbenam di Yogyakarta. Mursyid merekomendasikan Candi Ijo, yang ternyata salah arena yang ia maksut sebenarnya Candi Ratu Boko haha. Tapi saya dan Rizky yang memang jalan-jalannya nggak pakai ngoyo, memutuskan untuk menikmati Candi Ijo saja, toh sudah keburu sampai di lokasi. Candi Ijo ini tarletak di atas bukit yang ternyata cutup tinggi untuk menyaksikan matahari terbenam. Ukurannya tidak terlalu besar, cukup untuk dinikmati berjalan-jalan dan duduk-duduk sore. Biaya masuknya pun sangat terjangkau, hanya Rp 5,000. Setelah memotret beberapa angle, saya duduk di tepi Candi Ijo, menatap Yogya dari atas sambil menikmati matahari terbenam. Cantik :)
Museum Ulen Sentalu, Yogyakarta
Semua orang yang pernah mengunjungi museum ini bilang museum ini sangat bagus - membuat saya jadi penasaran. Museum Ulen Sentalu adalah museum yang mengabadikan sejarah kerajaan Yogya dan Solo melalui ruang-ruang yang menyimpan benda-benda, puisi, dan lukisan yang menceritakan kejadian jaman itu. Untuk masuk museum, ada biaya masuk sebesar Rp 40,000 yang sudah termasuk biaya guide selama satu jam, biaya parkir kendaraan, dan minuman jahe racikan khusus museum ini. Dalam tur museum saya, saya bergabung bersama sekitar 20 orang dan 1 pemandu. Walau sangat kagum dengan koleksi yang ada di museum ini, baik saya maupun Rizky merasa kurang puas dengan penjelasan pemandu - karena sebelum kami bisa 'menyerap' cerita yang ada, kami sudah harus pindah ruangan. Dengan jumlah orang yang cukup banyak, kami juga memiliki keterbatasan untuk bertanya. Padahal, sejarah yang diceritakan menarik banget! Pemandunya pun bercerita dengan gaya yang menarik. Saya rasa harusnya waktu keliling museum ini minimal dua jam, supaya pengunjung dapat benar-benar paham sejarah yang diceritakan. Oh iya, arsitektur bangunan museum ini juga sangat unik. Sedikit mengingatkan saya pada kampus ITB Ganesha dengan aksen warna abu dan ornamen batu kali.
Museum Merapi, Yogyakarta
Banyak yang salah kaprah waktu saya menyampaikan bahwa saya ingin ke Museum Merapi. Teman-teman saya mengira, museum yang dimaksud adalah bunker tempat kejadian erupsi merapi 2010 di mana banyak yang tewas di tempat itu. Padahal yang saya maksud adalah bangunan megah yang berbentuk mirip Gunung Merapi yang terletak di kaki gunungnya. Museum Merapi mendokumentasikan aktivitas Gunung Merapi sejak tahun 1969 hingga kini. Kita juga diajak uituk mengingat kembali pelajaran geografi seperti tipe-tipe gunung berapi, tipe letusan, dan pelajaran alam lainnya yang berkaitan dengan aktivitas vulkanik. Museum ini juga menyediakan film pendek tentang Merapi di ruang teaternya. Tiket masuk museum yaitu Rp 5,000/orang, dengan tambahan Rp 5,000/orang jika ingin nonton film. Menurut saya museum ini worth to visit -terlepas dari kenyataan bahwa ada beberapa tempat yang kurang terawat di dalam musuemnya. Tapi bagi para penikmat museum, jangan dilewatkan ya! Karena ilmu alam yang didapat dari museum ini lumayan banget.
Candi Prambanan, Yogyakarta
Dari semua candi yang ada, saya paling ingin mengunjungi Candi Prambanan. Candi ini punya cerita legenda Roro Jonggrang yang melatarbelakangi pembuatannya, juga menjadi lokasi pementasan sendratari Ramayana yang ingin sekali saya tonton! Sayangnya, di bulan April ketika saya datang, pementasan sendratari sedang dilakukan indoor, bukan outdoor dengan latarbelakang Candi Prambanan. Walau demikian, saya tidak menyesal mengunjungi candi Hindu yang cantik ini. Semoga lain kali bisa kesini lagi untuk menonton Ramayana!
Penutup
Sekian wisata saya dan Rizky di Solo dan Yogya. Kalau melihat suasana kota secara sekilas, saya merasa lebih cocok dengan suasana kota Solo yang apik dan tenang. Yogyakarta adalah kebalikannya Solo - ramai, sangat ramai dengan orang, dan - menurut saya - agak kumuh dan kurang terawat. Tapi keduanya punya daya tarik tersendiri. Solo dengan modernitasnya, Yogya dengan konvensionalnya - dan harga makanannya yang murah-murah! Nantikan daftar wisata kuliner saya selama di Solo dan Yogya ya :)
Cheers,
1 comments
mantap nih
BalasHapus