Hidup di Indonesia vs Hidup di Jepang #1: Transportasi
By Anissa Ratna Putri - Oktober 22, 2016
Ketika melihat foto-foto saya selama di negara matahari terbit melalui Instagram atau di Facebook, pernah kah terbersit rasa iri dan terpikir bahwa tinggal di negara maju itu sepertinya enak banget?
Pernah kali, ya. Kadang bahkan teman saya komentar, "Kok lo jalan-jalan mulu sih ca?"
Sejujurnya, saya tidak mengelak - hidup di Jepang memang nyaman. Jalan-jalan di Jepang juga asik. Tapi, dibalik kenyamanan itu juga ada 'perjuangan'. Hanya saja saya dan teman-teman lain yang juga tinggal di luar negeri tidak pernah publikasikan bagian 'perjuangan' itu di foto-foto kekinian ala instagram atau update status facebook. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi seperti apa kehidupan sehari-hari saya di Jepang jika dibandingkan dengan hidup saya di Indonesia. Bukan untuk pamer atau untuk mengeluh, tapi untuk berbagi kepada mereka yang mungkin suatu hari ingin tinggal di Jepang. Hari ini, ceritanya adalah tentang: transportasi!
Sehari-hari: Mobil/Angkot vs Sepeda
Di Indonesia, saya terbiasa mengandalkan mobil orang tua atau angkutan kota (angkot) untuk bepergian. Nyamannya berada di dalam mobil ataupun angkot adalah saya tinggal duduk cantik sampai tempat tujuan. Meskipun lelahnya adalah saya tidak tahu kapan sampainya. Suka-suka mamang angkot dan kemacetan Bekasi/Jakarta saja.
Di Jepang, saya terbiasa naik sepeda untuk bepergian dalam radius maksimum 10 kilometer. Ke kampus, ke supermarket, kemana saja roda membawa. Ada kalanya bersepeda itu menyenangkan. Seperti di sore hari, ketika sinar matahari yang hampir pudar mengenai wajah dan ketika angin semilir bertiup. Tapi ada juga saat dimana bersepeda itu berat. Seperti ketika membawa belanjaan berupa ayam 2 kg dan rupa-rupa bahan makanan lainnya di keranjang, sementara jalan pulang adalah tanjakan panjang yang terasa tiada akhir dan sayangnya, sepeda saya tidak punya gear.
Ketika buru-buru: Ojek vs Jalan cepat/Lari/Sepeda
Satu transportasi yang begitu saya rindukan selama saya di Jepang adalah ojek! Baik itu mamang ojek konvensional, mamang go-jek, dan berbagai ojek kekinian lainnya. Meskipun harus terpapar udara berpolusi dan matahari panas ala Indonesia, tapi sesungguhnya ojek ini paling efektif ketika saya sedang buru-buru (baca: terlambat). Saya jarang menggunakan ojek kalau nggak sedang buru-buru, jadi inilah peran paling krusial ojek sebagai mode transportasi dalam hidup saya. Sebenarnya nggak hanya itu, sih. Kadang kaki ini lelah juga berjalan terus, hehe. Dengan ojek, tinggal duduk, bilang ke si mamang mau kemana, selip sana, selip sini, sampai deh!
Kalau sedang buru-buru di Jepang, saya sama sekali tidak bisa mengandalkan transportasi umum. Dengan subway atau kereta kadang cepat, sih. Tapi kemudian disusul dengan lari-lari menaiki eskalator/anak tangga ke atas permukaan tanah, kemudian lari lagi ke tempat tujuan. Tapi ini jarang terjadi karena di Kyoto mode transportasi subway/kereta tidak terlalu populer seperti di Tokyo. Yang biasanya terjadi adalah, saya menggowes sepeda secepat yang saya bisa, atau jalan super cepat / semi-lari (ala telat kuliah di ITB), kemudian ngos-ngosan sampai di tempat tujuan - tapi berusaha tetap tenang dan jangan panik apalagi kalau janjiannya sama orang Jepang (Duh!). Oh Abang ojek, how I wish you were here.
Keliling kota: Mobil/Taksi+Busway+Ojek+Angkot vs Bus/Subway
Ketika kemarin saya harus keliling kota Jakarta demi data tesis, saya harus mengandalkan mobil orang tua dan pak supir. Ketika pak supir berhalangan, saya akan naik taksi sampai daerah Jakarta yang saya tuju, kemudian disambung dengan busway/ojek/angkot, apapun yang ada di daerah setempat. Most of the time saya mengandalkan gojek, berhubung saya random banget lokasinya. Tapi pada hari-hari lain ketika saya keliling kota tidak untuk data tesis, saya suka naik busway juga.
Berbeda dengan Indonesia, di Jepang pilihan kendaraan untuk keliling kota tidak banyak: bis atau subway. Kalau tempat tujuan masih agak jauh dari pemberhentian, ya di sambung jalan kaki. Kalau memang masih jauh sekali (misalnya lebih dari 2 km), biasanya saya sambung bis lain. Tapi ketika harus berjalan kaki pun, sebagian besar pemberhentian bis/subway berlokasi dalam walkable distance - jaraknya sudah diperhitungkan sedemikian rupa sehingga saya tidak perlu berjalan terlalu jauh ke tempat tujuan.
Tentang Akurasi: Suka suka vs On-schedule
Ada 2 hal akurasi yang perlu diperbaiki di Indonesia: akurasi lokasi dan akurasi waktu kedatangan/keberangkatan. Untuk mencari lokasi, menurut saya akurasi google maps di Indonesia masih perlu dipertanyakan. Meskipun, selama mencari data tesis kemarin, google maps sudah sangat, sangat membantu saya - tapi tetap harus ditambah tanya ibu warung setempat. Oh iya, alhamdulillah banget sekarang di google maps sudah ada rute busway dan rute angkot Jakarta dan Bekasi lho! Untuk waktu kedatangan/keberangkatan, sejatinya saya tidak pernah memperhatikan apakah transportasi umum di Jakarta punya jadwal. Karena, dengan kemacetan yang tidak tentu, menurut saya jadwalnya ya suka-suka kemacetannya Jakarta saja.
Dua hal yang menjadi kelemahan Indonesia itu adalah dua hal yang bisa dikatakan paling unggul di sistem transportasi Jepang (selain teknologinya). Semua rute subway, bus, jalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya sudah terangkum lengkap di google maps. Lengkap dengan waktu keberangkatan, waktu tiba, dan total biaya yang perlu dikeluarkan. Waktu keberangkatan ini on-time banget, terlambat semenit ditinggal. Waktu tiba pun biasanya selisih beberapa menit saja. Dan yang pentingnya lagi adalah google mapsnya akurat! Setidaknya lebih akurat dari versi Indonesia lah ya. Intinya, ketika punya google maps dan sinyal internet, you can go anywhere in Japan with no worries.
Antar kota: Kereta/Pesawat vs Bus malam/Shinkansen/Pesawat
Untuk berpergian antar kota di Indonesia, biasanya saya menggunakan pesawat - sekitar 1-2 jam perjalanan. Pernah beberapa kali naik kereta juga - sekitar 8 jam perjalanan, berangkat malam dan tiba pagi hari. Meskipun setelah dipikir-pikir, saya jarang juga bepergian antar kota di Indonesia. Yang sering paling Bekasi-Bandung naik travel.
Soal bepergian antar kota di Jepang, ada dua mode transportasi yang paling umum saya gunakan: bus malam dan shinkansen. Bus malam biasanya memakan waktu sekitar 7-8 jam, untuk perjalanan Kyoto-Tokyo dan sebaliknya (sebanding dengan jarak Jakarta-Semarang). Kalau butuh cepat, andalan para orang Jepang adalah kereta cepat Shinkansen, yang hanya memakan waktu 2 jam saja untuk jarak 450km antara Kyoto dan Tokyo. Tentunya, kecepatan ini berbanding dengan harga tiket yang dibayarkan. Untuk perjalanan satu arah, tiket bus malam berkisar antara JPY 3000 - 8000 (IDR 400K-900K), sementara tiket shinkansen untuk jarak yang disebutkan di atas berkisar antara JPY 13,000-14,000 (IDR 1,5 juta - 1,6juta). Kadang, naik pesawat lebih murah daripada Shinkansen - tergantung promo dan musim. Tapi saya sendiri tidak pernah ke Tokyo naik pesawat. Sekalinya saya tranportasi antar kota dengan pesawat adalah ketika saya ke Hokkaido - prefektur yang berada di ujung utara Jepang.
Plus dan Minus
Kalau dari segi kenyamanan kendaraan, akurasi waktu kedatangan, akurasi lokasi di google maps, Jepang jelas memiliki banyak nilai plus. Tapi, ada hal-hal seperti abang ojek yang tidak dimiliki Jepang, yang kadang sangat membantu dikala dikejar waktu dan dikala kaki lelah menggowes atau berjalan. Banyaknya mode transportasi di Indonesia juga memberikan 'keseruan' tersendiri. Semoga bisa diatur lebih baik sampai jadi senyaman Jepang suatu hari nanti!
Love,
Love,
0 comments