Jack of all trades = Master of none?

By Anissa Ratna Putri - Maret 06, 2018

Image by Semrush, from linkedin.com
Ada beberapa orang di dunia ini yang hidupnya tidak bisa bergantung pada satu bidang saja. Mereka yang passionnya tidak cuma satu, tapi bisa dua, tiga, atau empat. Labil? Mungkin. Tapi menurut Emilie Wapnick dalam TED Talknya yang berjudul ‘Why Some of Us Don’t Have One True Calling', memang ada orang-orang tertentu yang hidupnya baru terasa ‘hidup’ ketika mereka bisa menjalani dua peran. Minta mereka melepas salah satu, reduplah hidup mereka. Ada yang kurang. Ada yang hilang.

Apa yang dibahas oleh Emilie Wapnick saya interpretasikan sebagai mereka yang dikenal sebagai ‘multipotentialite’, ‘generalist’ atau 'Jack of all trades’. Mereka yang dikenal punya skill dalam beberapa bidang, mereka yang tipikal punya pengetahuan yang luas. Namun, hal ini ada konsekuensinya: masalah fokus dan masalah pendalaman ilmu pengetahuan yang mereka kuasai.

Dari dulu, saya merasa bahwa saya adalah Jack of all trades. 
Kesukaan saya, keterlibatan saya, dari dulu selalu berganti-ganti bidang. 
Blog ini mungkin salah satu saksinya

Di blog ini, saya pernah bahas bahwa saya pernah tertarik sama arsitektur, sempat ingin kuliah di jurusan ini demi belajar konsep green building. Saya juga pernah tertarik sama isu renewable energy, di mana dulu pertama masuk kuliah TL cita-cita saya adalah mengembangkan potensi biofuel. Sesuatu yang membawa saya pada keterlibatan sebagai Koordinator Program Climate Change and Energy di Unit Kegiatan Mahasiswa bernama U-green ITB. Di dunia kuliah saya juga mengenal dunia jurnalistik. Bekerja di majalah selalu terlihat menarik untuk saya, untungnya saat kuliah S1 saya sempat diberi kesempatan menjadi Editor in Chief majalah ENVIRO HMTL ITB. Sesuatu yang menyadarkan saya bahwa saya suka sekali menulis, suka juga fotografi, layouting, mengkonsepkan sesuatu (dalam hal ini majalah). Eh tapi, saya lulus dari Teknik Lingkungan dengan fokus pengelolaan sampah. Belum lagi, setelah kuliah di Jepang, saya jadi punya relasi di dunia tourism Jepang, karena sering part-time jadi guide + saya suka sekali jalan-jalan menjelajahi tempat baru. Nah. Banyak, kan bidangnya?

Di akhir masa kuliah S1, saya sempat menulis 3 hal yang saya merasa saya tidak akan dapat tinggalkan: isu lingkungan, dunia jurnalistik, dan traveling.
Sebenarnya, tiga bidang ini aja punya sub-bidang yang banyak di dalamnya.
Isu lingkungan itu banyak banget: dari perubahan iklim ke deforestasi, dari polusi udara ke persampahan, semua itu isu lingkungan. Dunia jurnalistik juga luas: ada news articletravel writing, dst. Traveling sih saya tinggal pilih aja: mau jadi travelerguide, atau pebisnis. Tapi intinya, karena sub-bidang yang begitu beragam ini, saya jadi merasa nggak punya fokus. Karena itulah, setelah lulus S1, saya memutuskan untuk fokus ke isu lingkungan bagian persampahan. Setidaknya, saya punya satu sub-bidang yang saya merasa punya pendalaman lebih dari bidang-bidang lainnya. 

Namun, Papa saya bilang, “Kamu jangan terlalu kaku bahwa urusan lingkungan yang bisa kamu handle itu hanya urusan persampahan. Urusan lingkungan itu dari hulu ke hilir, kamu harus mampu melihatnya from a big picture."
Apa yang dikatakan Papa ada benarnya. Urusan sampah juga, kan berkaitan sama Gas Rumah Kaca (isu perubahan iklim), sama pencemaran air, dan lain-lain. Kalau dalam konteks ini, saya masih bisa terima lah. Namun hari ini, saya mengikuti sebuah pertemuan tentang isu lingkungan non-persampahan yang membawa saya sampai pada titik di mana saya merasa: kayanya isu lingkungan yang ini (seharusnya) bukan ranah saya, deh.

Jadi, ceritanya saya yang sedang menemani Rizky penelitian di Kalimantan ikut ke Dinas Perkebunan Pontianak. Di akhir pertemuan, Pak Kepala Dinas tiba-tiba bilang kalau beliau sedang semangat mau mengembangkan inovasi pengelolaan limbah kelapa sawit. Saya nggak bisa bohong kalau setelah dua jam pembicaraan soal ladang-hutan-sawit-dsb, topik terakhir ini lah yang bikin saya agak lebih ‘melek’ dan tertarik untuk ikut berdiskusi. Karena Rizky sudah menyebutkan kalau saya ini bidangnya waste management, Pak Kadis jadi mengarah ke saya. Saya langsung teringat sama sebuah slide yang saya kerjakan secara random bersama Adin beberapa bulan lalu, demi kepentingan seorang relasi Pak Bos yang sebenarnya kontennya nggak ada hubungannya sama sekali sama kerjaan Waste4Change. Slide itu membahas bagaimana pengelolaan limbah kelapa sawit sudah membentuk circular economy. Waktu itu, saya dan Adin mengerjakannya sambil ngedumel, “Apa sih ini nggak ada faedahnya?"

Siapa yang sangka, ada gunanya juga pemahaman secuil saya tentang pengelolaan limbah kelapa sawit dari slide itu. Walau tidak banyak diskusi dengan Pak Kadis, setidaknya saya berani sedikit berbicara. Kalau nggak membuat slide itu, kayanya saya nggak berani koar-koar apa-apa.
Jadi, sebenarnya pengetahuan tambahan tentang isu lain selain sub-bidang yang didalami itu nggak apa-apa.
Yang apa-apa adalah ketika ada yang komentar, “Ini bisa jadi peluang kerjaan kamu nih (untuk bantu inovasi pengelolaan limbah sawit).”

Iya sih, saya punya kemampuan untuk mengelola limbah industri. Biar bagaimanapun, saya ini lulusan Teknik Lingkungan.
Saya juga ingin mendukung circular economy terwujud, di mana semua hal yang bisa dimanfaatkan, dimanfaatkan kembali sebelum dicap sebagai ‘limbah’ dan dibuang. 
Tapi, sampah industri perkebunan banget?

Entah ego saya yang berbicara atau saya sesimpel takut menyimpang dari fokus utama, saya merasa ini sepertinya bukan ranah kerja saya. Saya kan, harusnya mengurus hal-hal yang terkait sama sampah perkotaan. Bukan sampah kebun kelapa sawit yang jaraknya berjam-jam dari kota.

Saya ingat lagi pesan Papa: isu lingkungan itu harus lihat the big picture nya. Jangan dikotak-kotakkan, kalau nggak, nggak akan bisa mengembangkan diri.
Kemudian, saya membaca dari sini sebuah pesan yang menurut saya penting bagi fellow Jack of all trades:
Whatever skill you are trying to pick up on, what’s important is not what it is specifically or how many of them there are, but rather how do they fit in your day-to-day life.

Jika ada teman-teman di luar sana yang merasa seperti saya, sebenarnya nggak ada yang mengharuskan kita untuk mendefinisikan kesukaan/keahlian kita pada hanya satu bidang.
Namun, mungkin ada baiknya kita menelaah apakah skill/peluang yang ada ini sejalan dengan apa yang kita anggap penting? Sejalan dengan mimpi dan cita-cita kita - dalam gambaran besar? 
Dengan menjadi Jack of all trades, jadikanlah peluang yang ada sebagai kesempatan untuk menikmati hidup - namun pastikanlah kamu tidak menyimpang dari nilai-nilai yang ingin kamu capai.

Salam sesama Jack of all trades!


  • Share:

You Might Also Like

0 comments