Kemana Sampah Kita? #2: Industri Daur Ulang di Indonesia

By Anissa Ratna Putri - Desember 24, 2018

Pernah bertemu pemulung? Melihat mereka memungut sampah di depan rumah, di pinggir jalan, dan di tempat-tempat lainnya rasanya bukan hal yang asing ditemukan. Pernah terpikir kah kenapa mereka mengambil sampah yang sudah di buang? Kemana sampah yang pemulung pungut dibawa? 

Masyarakat Indonesia terbiasa melihat sampahnya dicampur. Kulit pisang, botol plastik, tulang ayam, sobekan kertas - semua ada di satu keranjang bulat atau kotak: tempat sampah. Masyarakat Indonesia terbiasa melihat tumpukan sampah diangkut jadi satu - mungkin ketika sedang macet di belakang sebuah truk oranye berlabel "Dinas Kebersihan Jakarta" atau ketika sedang duduk di teras rumah dan truk sampah melintas - sebelum mereka buru-buru masuk karena tidak sanggup mencium bau apak dan tengik menjadi satu. 

Dari tulisan saya sebelumnya, kita tahu bahwa sebagian besar sampah di Indonesia (sekitar 69%) memang berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Di sini, semua material yang sudah tidak diinginkan dicampur jadi satu, dibentuk bukit-bukit yang kini besarnya menyaingi ukuran candi. Namun sebenarnya, ada jalur lain yang ditempuh oleh sebagian dari sampah-sampah yang ada. Jalur yang dikenal sebagai "daur ulang". Bukan, bukan daur ulang tas plastik kemasan sabun cuci seperti yang banyak dipromosikan ibu-ibu pengrajin 'daur ulang'. Daur ulang yang akan saya perkenalkan adalah sebuah industri yang punya pemain-pemain, punya value chain, dan punya produk akhir yang lahir dari mesin-mesin skala industri.

Selamat berkenalan dengan industri daur ulang sampah Indonesia.

Siapa yang terlibat dalam industri daur ulang sampah di Indonesia?
Ada beberapa 'pemain' dalam industri daur ulang di Indonesia. Pertama, mereka yang dikenal dengan sektor informal: orang-orang yang mencari nafkah dari sampah. Kedua, mereka yang berwenang untuk mengelola sampah: Dinas Kebersihan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan institusi pemerintah lainnya. Ketiga, mereka yang peduli pada masalah sampah dan bergerak nyata: para pegiat bank sampah, para perusahaan swasta, dan lain-lain. Mari berkenalan dengan yang pertama, karena merekalah tokoh utama industri ini.

Sektor informal dalam pengelolaan sampah terdiri dari beberapa aktor yang punya peran masing-masing dari hulu ke hilir. Di hulu, ada mereka yang biasa bertemu dengan kita di jalanan: pemulung. Pemulung memungut sampah di depan rumah,  di jalan, di TPA - kemudian membersihkan dan menjualnya setelah memenuhi jumlah tertentu. Lapak atau pengepul adalah pemain berikutnya. Satu lapak biasanya dikelola oleh satu bos yang memiliki beberapa 'anak buah' pemulung yang beroperasi di jalanan. Karena itulah kepada bos lapak ini, pemulung akan meyetor sampah yang telah dikumpulkan.
Salah satu pemulung yang saya wawancara di Jakarta
Pemulung menimbang sampahnya, menjual ke bos lapak
Pemulung dan lapak bisa dikatakan mengumpulkan sampah apa saja yang berharga di pasar. Berbeda dengan bandar. Bandar adalah mereka yang membeli dari lapak - namun tidak semua yang dikumpulkan lapak akan dibeli oleh bandar. Beberapa bandar memiliki spesialisasi tertentu, misalnya bandar plastik atau bandar kertas. Sehingga, satu lapak harus memiliki beberapa klien bandar agar semua sampah yang dikumpulkan terjual. Bandar tidak hanya menerima barang dari lapak, terkadang beberapa dari mereka melakukan proses lebih lanjut terhadap sampah sebelum mereka jual, misalnya bandar plastik yang mencacah plastik yang mereka terima agar kemudian dapat dijual dengan harga lebih baik kepada pabrik.

Pabrik daur ulang adalah tempat diprosesnya sampah-sampah yang sudah dikumpulkan menjadi bahan atau material baru. Misalnya, di pabrik daur ulang plastik LDPE, sampah yang diterima kemudian diolah langsung menjadi produk baru berupa tutup galon. Namun, ada juga pabrik daur ulang kantong plastik, di mana produk akhir dari proses daur ulangnya adalah pelet plastik yang akan di jual ke pabrik plastik untuk diolah menjadi produk baru.

Perlu dicatat bahwa walau disebut 'sektor informal', tidak jarang perkembangan bisnis membawa para pebisnis daur ulang kepada 'formalisasi' bisnis mereka. Dari yang tadinya tidak bernama atau berlembaga, kini tidak jarang ditemukan usaha daur ulang berbentuk CV maupun PT.
Salah satu pabrik daur ulang plastik yang saya kunjungi di daerah Jakarta Timur
Apa saja yang di daurulang dan bagaimana prosesnya?
Berbagai jenis material mulai dari plastik, kertas, kardus, kaleng, botol kaca, sampai kemasan kardus minuman masuk dalam daftar barang yang menjadi komoditas di industri daur ulang. Walau demikian, material-material tersebut akan sulit untuk didaurulang jika sudah masuk tumpukan sampah yang tercampur, seperti di TPA misalnya. Karena itu lah, pemulung memungut sampah-sampah di depan rumah atau di jalanan, karena sampah tersebut jauh lebih bersih dan karenanya lebih bernilai tinggi di pasar jika dibanding dengan sampah yang sudah tercampur aduk di TPA.

Jika penasaran bagaimana proses daur ulang sampah menjadi material baru, silahkan tengok proses daur ulang botol plastik di CV Mayestik Buana Group milik Bapak Mohammad Baedowy berikut (menit 1:48 sampai 4:04).



Apa yang sudah dicapai industri daur ulang?
Selain bergerak sebagai bisnis yang bermotif ekonomi, pelaku industri daur ulang juga memiliki organisasi. Dua organisasi daur ulang yang saya ketahui yaitu Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) dan Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI). Keduanya sama-sama fokus pada daur ulang plastik, hanya saja memiliki pengurus yang berbeda. Melalui organisasi ini, baik ADUPI maupun APDUPI menjadi mitra pemerintah maupun swasta untuk berkerjasama dalam pengelolaan sampah yang lebih baik, serta menjadi mitra akademisi maupun lembaga swadaya masyarakat yang ingin mengulik lebih jauh tentang potensi daur ulang di Indonesia. Berikut adalah video VICE Indonesia yang meliput Ibu Christine Halim, Ketua ADUPI di pabrik daur ulang plastik.



Salah satu contoh kemitraan yang dilakukan misalnya kerjasama Danone dan ADUPI dalam mendaurulang botol plastik. Jika kalian sudah melihat proses daur ulang botol plastik di kedua video di atas namun merasa belum melihat the real produk akhir daur ulang, coba lihat produk akhir kerjasama Danone dan ADUPI berikut. Cacahan plastik dari Recycling Business Unit (RBU) milik Danone kemudian diolah oleh pengusaha daur ulang menjadi dua material: bantal dan kartong belanja yang bisa dilipat. Satu bantal berasal dari 24 botol plastik bekas, sedangkan satu kantong belanja berasal dari 2 botol plastik bekas. Untuk kantong belanja dibuat di Cina, sementara bantal dibuat di Indonesia. Di bawah ini foto contoh kantong belanjanya.


Berdasarkan riset Waste4Change di Jakarta pada 2017, industri daur ulang khususnya daur ulang sampah kemasan telah memanfaatkan sekitar 15-20% sampah kemasan yang ada untuk didaurulang di pabrik daur ulang. Saya sendiri sempat melakukan riset kecil-kecilan untuk master thesis saya di tahun 2016 dan menemukan bahwa di Jakarta untuk sampah plastik saja, industri daur ulang telah mendaurulang sekitar 24-29% dari sampah plastik yang ada.

Apakah persentase sampah yang didaurulang masih sedikit? Sebagai perbandingan, di Tokyo pada 2014, sampah yang didaurulang yaitu sebanyak 23.4% (1). Tapi perlu dicatat bahwa bahkan Jepang yang sudah memilah di sumber pun sebenarnya masih sangat bergantung pada insinerator, seperti kita yang masih bergantung ke landfill.  Jika ingin dibandingkan dengan cities leading in recycling seperti San Fransisco di US yang mendaurulang 80% sampahnya atau Vancouver di Canada yang mendaurulang 60% sampahnya, persentase daur ulang kota Jakarta bisa dibilang masih cukup rendah.  Infografis recycling rate kota-kota unggul dalam daur ulang lainnya bisa dilihat di sini.

What's next?
Dari perkenalan dengan industri daur ulang di atas, kalian mungkin jadi tahu bahwa Indonesia tidak benar-benar menumpuk semua sampahnya di landfill. Ada sebagian yang di daur ulang, dan daur ulang yang telah dilakukan pun sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam skala massal layaknya daur ulang canggih di negara-negara maju. Sektor-sektor lain selain pemain utama (sektor informal) pun sudah mulai 'melek' tentang daur ulang dan pergerakan menuju daur ulang yang lebih baik terus berjalan, walau cukup lamban. Semoga, Indonesia segera berani bergerak menuju perubahan: berani menegakkan hukum untuk memilah sampah, berani berinvestasi untuk  daur ulang, berani untuk mengubah kebiasaan mencampur semua sampah karena sudah tahu bahwa ada sampah yang bernilai untuk dimanfaatkan kembali.

Salam hijau,

  • Share:

You Might Also Like

0 comments