Foto dari ccacoalition.org |
Tidak jarang saat sedang duduk santai di rumah, saya mencium bau asap. Ternyata, tetangga di kampung sebelah sedang bakar sampah! Terpaksa saya harus menutup pintu supaya asap tidak masuk dan terhirup lebih banyak. Apakah di antara kalian ada yang mengalami hal ini juga?
Membakar sampah di udara terbuka (open burning) cukup akrab dengan masyarakat Indonesia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016, sekitar 5% dari sampah yang ada di Indonesia diolah dengan cara open burning. Walau berawal dari tidak adanya pengangkutan sampah, di negara berkembang praktik open burning tetap masih ditemukan meski kini pemerintah telah menyediakan jasa pengangkutan sampah (1). Memang, membakar sampah terlihat sebagai ‘solusi’ yang cepat – sampah yang menumpuk ‘hilang’, hanya abu yang tersisa. Walau menimbulkan asap yang baunya tidak enak, pikiran pendek seperti ‘nggak apa-apa lah, kan cuma sebentar’ atau ‘nggak apa-apalah nggak ngaruh juga’ mungkin masih ada. Benarkah dengan membakar sampah, sampah kita benar-benar hilang? Benarkah tidak ada pengaruh signifikan bagi kita dari asap pembakaran sampah? Yuk kita cek faktanya!
Sampah dibakar bukan berarti hilang.
Ketika membakar sampah, kita tidak menghilangkannya – kita mengubahnya dari bentuk padat menjadi bentuk gas dan partikel. Walau secara kasat mata kita hanya dapat melihat asap dengan warna keabuan, di dalam asap tersebut terdapat banyak jenis gas dan partikel yang masing-masing dapat memberikan dampak bagi kesehatan maupun lingkungan.
Asap pembakaran sampah berbahaya bagi kesehatan.
Dampak langsung yang mungkin terasa ketika menghirup asap pembakaran sampah pasti bau yang tidak enak dan kesulitan bernafas dengan nyaman. Faktanya, asap pembakaran sampah memang dapat mempengaruhi – bahkan merusak – sistem pernafasan kita karena terhirupnya gas-gas seperti karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO), dan sulfur dioksida (SO) (2). Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan gas ini di antaranya keracunan gas, vertigo, dan masalah saraf. Selain gas-gas ini, ada juga partikel-partikel seperti PM 2.5, PM 10, karbon hitam, dan karbon organik yang dapat bersifat karsinogen dalam konsentrasi tertentu dan seringkali diasosiasikan dengan kanker paru-paru dan gagal hati. Elemen lainnya yang cukup berbahaya yaitu Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang terbentuk akibat pembakaran yang tidak sempurna akibat temperatur rendah yang minim oksigen. PAHs ini juga memiliki karsinogen efek yang dapat memicu tumbuhnya tumor. Selain itu, PAHs dianggap berbahaya bagi anak-anak karena dapat menyebabkan asma, kurangnya perkembangan kognitif dan IQ yang rendah (3). Sebuah studi tentang masalah sampah rumah tangga di Jakarta menunjukkan adanya hubungan antara tumpukan sampah yang tidak diangkut dengan penyakit pernafasan pada ibu dan anak – kemungkinan besar dikarenakan warga yang sampahnya tidak diangkut membakar sampah mereka (4).
Dengan membakar sampah, kita berkontribusi pada pemanasan global.
Dampak jangka panjang dari pembakaran sampah terjadi akibat terlepasnya gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2) ke atmosfer. Proses open burning secara global menghasilkan sekitar 1.4 milyar ton CO2 per tahun (1). Sebagai gas rumah kaca, CO2 menyerap radiasi dan memantulkannya kembali ke atmosfer bumi. Jika konsentrasi gas rumah kaca seperti CO2 terus meningkat, temperatur bumi akan naik – dikenal sebagai pemanasan global – dan dapat menyebabkan dampak pada kelangsungan hidup manusia. Beberapa contoh dampak pemanasan global antara lain kenaikan muka air laut, kekeringan parah, gagal panen, cuaca ekstrim, dan lain sebagainya.
Setelah melihat dampak pembakaran sampah, masih kah kita mau menghirup asap sampah lagi? Kalau tidak, berikut beberapa hal yang bisa kita terapkan atau kita bagikan pada tetangga supaya tidak lagi membakar sampah:
1. Menggunakan sarana pengangkutan sampah yang tersedia.
Jika sudah ada pengangkutan sampah setempat, ada baiknya menggunakan sarana tersebut untuk mengelola sampah yang ada. Jangan menolak untuk membayar biaya retribusi. Pikirkan betapa mahalnya biaya perawatan kesehatan karena menghirup asap dibanding dengan membayar pengangkutan sampah per bulan.
2. Memilah sampah untuk menghindari penimbunan.
Jika alasan melakukan pembakaran sampah adalah karena sampah yang tertimbun cukup banyak sementara frekuensi pengangkutan yang tersedia kurang sering, maka melakukan pemilahan sampah dapat menjadi solusi. Dengan memilah, kita dapat memisahkan sampah organik seperti sisa makanan dan sampah dapur dengan sampah seperti plastik, kaleng, dan lain-lain. Sampah organik yang menimbulkan bau dapat kita letakkan di tempat sampah, sementara sampah plastik dan lainnya dapat kita wadahi dan disimpan di dapur terlebih dahulu. Dengan begini, sampah di tempat sampah kita tidak tertimbun banyak. Untuk mengurangi potensi bau dari sampah plastik dan kemasan lainnya, kita dapat mencucinya terlebih dahulu sebelum menyimpannya di dapur/area rumah.
3. Mulai melihat sampah sebagai sumber daya.
Sampah plastik, kaleng, botol kaca, masih bisa diolah menjadi produk lain. Karena itu, memilah dan menyalurkan sampah yang dapat didaurulang ke penampung terdekat dapat menjadi solusi. Penampung bisa berupa bank sampah atau lapak yang mau membeli sampah. Jika mau menyumbang, sampah terpilah juga dapat diberikan secara cuma-cuma ke pemulung setempat. Selain mengurangi sampah yang terbuang ke lingkungan, hal ini juga dapat membantu pemulung tersebut mendapatkan penghasilan lebih banyak untuk menyambung hidupnya.
4. Membuat kompos rumahan.
Jika memiliki waktu luang dan punya ketertarikan untuk mengelola sampah dengan lebih baik, membuat kompos dari sampah di rumah mungkin menarik untuk dicoba. Ada beberapa metode pengomposan skala rumah yang bisa dicari tahu dan dicoba. Tidak ribet kok, dan hasilnya dapat bermanfaat untuk memberikan nutrisi bagi tanaman di halaman rumah kita.
Salam hijau,
0 comments